Pengikut dan murid Syekh Siti Jenar yang jumlahnya cukup banyak mulai memasuki ruang padepokan. Satu persatu mulai mengambil tempat duduknya masing‐masing. Duduk bersila, berjejer memadati ruangan, pandangannya luru ke depan, memandang Syekh Siti Jenar dengan takjub.
“Baiklah, jika semuanya sudah berkumpul kita mulai pelajaran ini.” Syekh Siti Jenar mulai mengajarkan ilmunya. “Saya akan memulai dengan pertanyaan. Darimanakah asalnya manusia?” matanya mulai memandang muridnya satu persatu.
“Tentu saja manusia berasal dari kedua orang tuanya.” jawab Loro Gempol. “Terutama sekali ibunya yang melahirkan. Saya rasa semua orang juga tahu, Syekh.” urainya sangat percaya diri.
“Jika jawabannya seperti itu, semua orang tahu. Maka saya tidak perlu memberitahukannya lagi.” terang Syekh Siti Jenar.
“Lalu bagaimana menurut, Syekh?” Kebo Benowo menindaklanjuti pertanyaan temannya. “Secara lahiryah, manusia dilahirkan oleh seorang ibu. Ibu pun tidak akan bisa melahirkan tanpa pasangannya yang bernama suami.” sejenak menghentikan ucapannya. Matanya mulai menyisir wajah para muridnya yang dengan khusu memperhatikannya.
“Ya, kami tahu.” Loro Gempol yang tidak sabaran selalu menyela. “Syekh, kedatangan kami kesini bukan untuk mempelajari ilmu seperti itu. Tapi kami meminta kesaktian yang Syekh punyai.” Loro Gempol seraya bangkit dari duduknya, tabiat rampoknya mulai tumbuh kembali.
Andika terlalu tergesa‐gesa, Kisanak.” Syekh Siti Jenar mengayunkan telunjuk dari tempat duduknya. ”Akkkhhhhh! Tolong!” tiba‐tiba Loro Gempol terbanting, dan roboh di atas lantai.
“Bukankah saya belum selesai berbicara?” Syekh Siti Jenar tidak mengubah posisi duduknya, “Mana bisa orang mendapatkan ilmu ma’rifatullah jika tidak bisa mengendalikan emosi.”
“Aduhhhh…” Loro Gempol memijat‐mijat bokongnya yang terasa sakit akibat benturan. “Maafkan saya, Syekh.” “Kembalilah andika ke tempat duduk!” perintah Syekh Siti Jenar.
Sementara yang lainnya tidak ada yang berani menentang, apalagi berujar yang tidak karuan di depan orang yang memiliki tingkat kesaktian tinggi. Mereka termasuk para murid yang taat, karena sudah mulai mendalami sebagian ilmu yang diajarkannya.
“Kenapa andika ceroboh, Gempol?” Kebo Benowo berbisik pada Loro Gempol yang telah duduk kembali disampingnya. “Bukankah andika sudah tahu, bagaimana kehebatan Syekh Siti Jenar ketika kita rampok. Masih untung andika tidak diusir dari padepokan ini.”
“Memang saya ceroboh, Ki Benowo. Tapi saya tidak akan mengulang kesalahan ini,” bisik Loro Gempol. “Jika andika mengulang kesalahan, kemungkinan besar kita akan ditolak menjadi murid beliau.” Kebo Benowo merasa khawatir kalau tidak memperoleh kesaktian yang dimiliki Syekh Siti Jenar.
”Lupakanlah peristiwa tadi.” Syekh Siti Jenar menghela napasnya. ”Kita kembali pada pertanyaan semula. Darimana asalnya manusia?”
“Darimanakah itu Syekh? Saya kira Syekhlah yang lebih tahu.” ujar Kebo Benowo.
“Manusia berasal dari Allah. Dari dzat Allah yang menciptakannya. Seluruh manusia yang belum lahir kedunia ini berada pada suatu tempat yang bernama ‘bahrul hayat’.” berhenti sejenak.
“Apakah itu, Syekh?” tanya Kebo Benowo.
“Yaitu tempat hidup dan kehidupan. Disitu manusia merasakan kenikmatan yang tidak ada taranya. Manusia tidak pernah merasakan lapar, sakit, sedih, duka, lara, bahkan bahagia. Itu karena sangking nikmatnya kehidupan sebelum lahir ke dunia. Kita merasakan penderitaan, kesedihan, kemiskinan dan sebangsanya karena telah terlahir ke dunia ini. Bukankah sebelumnya kita tidak pernah merasakan penderitaan dan kemiskinan…” urai Syekh Siti Jenar.
Para murid Syekh Siti Jenar sejenak merenungkan uraian gurunya. Mereka ada yang bisa mencerna dan memikirnnya, namun ada juga yang belum memahami maksud uraian tadi.
“Jadi dunia ini tempatnya kita menjalani kesedihan, kemiskinan, kemelaratan, penderitaan, tertawa, bergembira. Setelah semuanya secara berurutan atau tidak kita alami, maka kembali berputar. Setelah sedih kita akan bahagia, setelah bergembira kita akan menangis….dan seterusnya.” Syekh Siti Jenar memandang ke setiap sudut.
“Jika demikian kehidupan dunia ini berbeda dengan alam asal muasal kita, yang didalamnya tidak pernah terasa kesedihan, tidak pernah pula setelah bergembira kemudian bersedih. Bukankah disana nyaris kita tidak pernah merasakan apa pun, Syekh?” ujar Kebo Benowo, seraya menatap wajah Syekh Siti Jenar yang memancarkan cahaya.
“Benar. Alam asal muasal manusia adalah alam milik dzatnya. Sehingga kita pun berada didalam kenikmatannya. Berbeda dengan alam yang sedang kita jalani sekarang.” lanjut Syekh Siti Jenar, tangan kanannya tetap memegang tasbih, sementara tatapan matanya terus berputar.
Waktu terus merangkak pelan, menggiring para murid Syekh Siti Jenar pada ajarannya. Mereka semakin khusuk mendengarkan, hati mulai terbuka akan segala hal yang sebelumnya tidak diketahui.
“Syekh, andika membawa ajaran Islam. Padahal agama yang saya kenal sebelumnya adalah Hindu dan Budha.” ujar Kebo Kenongo. “Namun stelah saya perhatikan ternyata inti dari ke tiga agama tersebut memiliki kesaamaan.”
“Benar, Ki Ageng Pengging.” ucap Syekh Siti Jenar, matanya menatap tajam wajah lelaki yang masih keturunan Majapahit. “Semua agama sebenarnya dari asal yang satu. Itulah tadi yang saya uraikan.”
“Saya paham dan tertarik untuk mengambil kesamaan dari ke tiga ajaran tadi.” tambah Kebo Kenongo. “Hanya yang membedakan agama‐agama tadi adalah lelaku lahiryahnya saja.”
“Benar, Ki Ageng Pengging. Sebab hakikatnya sama, mencari yang namanya Sang Pencipta, Sang Pemilik, Sang Maha Perkasa.” ujar Syekh Siti Jenar, seraya jari jemari tangannya memberi gambaran simbol pada Kebo Kenongo. “Kita hanya bisa merasakan nikmat saat bergumul dengan Dzat Yang Maha Kuasa.