Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat page 09

Mungkin syariat dari ajaran Hindu dan Budha bersemadi, mungkin orang Islam dengan tata cara berdzikir, berdoa, dan Shalat. Tapi semua itu hanyalah bentuk pendekatan secara jasadiah saja, sedangkan batinnnya tertuju pada Yang Maha Segalanya.” urai Syekh Siti Jenar.

“Benar, Syekh.” Kebo Kenongo sejenak memandang ke arah puncak gunung, “Kenikmatan kita saat bersemadi ketika wujud kita telah menyatu dengannya.”

“Itulah Manunggaling Kawula Gusti.” terang Syekh Siti Jenar pelan. Lalu bangkit dari duduknya, melangkah pelan menyusuri jalan setapak di ikuti Kebo Kenongo menuju padepokan.

“Mereka sedang memperbincangkan apa di atas sana?” Loro Gempol melirik ke arah Kebo Benowo yang sedang berdiri di halaman padepokan. “Kelihatannya sangat serius.”

“Apalagi yang mereka perbincangkan kalau bukan masyalah ilmu.” jawab Kebo Benowo datar.

“Mengapa mereka kelihatannya khusuk dan serius. Mungkinkah karena Syekh Siti Jenar berbincang‐bincang dengan keturunan Majapahit? Sehingga dia memperlakukan Ki Ageng Pengging lebih istimewa dibandingkan dengan kita, mantan rampok.” tatapan mata Loro Gempol tertuju kembali pada Syekh Siti Jenar dan Kebo Kenongo, mereka sedang menuruni bukit menuju padepokan.

“Andika jangan berprasangka buruk, Gempol!” Kebo Benowo memberi apalagi mengistimewakan satu dengan lainnya. Hanya Syekh Siti Jenar akan mudah diajak berbincang‐bincang jika kita memahami yang dibicarakannya. Kita belum bisa dianggap selevel dengan Ki Ageng Pengging. Karena kita latar belakangnya rampok dan tidak pernah mengenal ajaran agama apalagi filsafat, sedangkan Ki Ageng Pengging sudah mengenal agama‐agama sebelum datang ajaran Syekh Siti Jenar, ditambah lagi dia orang cerdas.” urai Kebo Benowo.

“Mungkin ya…mungkin tidak?” Loro Gempol menghentikan pembicaraannya, karena mereka sudah mendekat. “Andika berdua memperbincangkan saya?” Syekh Siti Jenar menatap Kebo Benowo dan Loro Gempol.
Keduanya hanya mengangguk dan selanjutnya menundukan kepala. Karena mereka baru menyadari kalau Syekh Siti Jenar memiliki ilmu batin yang sangat hebat.

“Tidak mengapa, jika memang pertemuan saya dengan Ki Ageng Pengging menjadi bahan perbincangan andika berdua.” ujar Syekh Siti Jenar enteng. “Andika pun hendaknya bisa mencapai tahapan yang sedang kami perbincangkan.” melanjutkan langkahnya, di belakangnya Kebo Kenongo mengiringi.

“Inti dari ajaran Manunggaling Kawula Gusti?” Kebo Kenongo memulai lagi perbincangan, setelah beberapa langkah jauh dari Loro Gempol dan Kebo Benowo.

“Ya, ketika kita menyatu dengan Dzat Sang Pencipta, Allah.” terang Syekh Siti Jenar. “Disitu terjadi penyatuan antara Gusti dan abdinya. Setelah kita menyatu dengannya, apa masih perlu yang namanya dzikir, shalat, ritual?”

“Bukankah tujuan dari dzikir, shalat, dan ritual itu untuk mendekatkan diri kita dengan Yang Maha Agung?” timpal Kebo Kenongo.

“Benar sekali Ki Ageng Pengging.” langkahnya terhenti di tepi jalan, sejenak, lalu memandang awan yang berserak di langit biru. “Jika kita sudah dekat apalagi menyatu dengannya masihkah kita perlu melakukan upaya dan tata cara pendekatan?”

“Tentu saja jawabnya tidak.” Kebo Kenongo menatap keagungan sinar yang terpancar dari wajah Syekh Siti Jenar.

“Upaya pendekatan apalagi yang harus kita lakukan, jika kita sudah melebihi dari dekat. Apa pun yang kita inginkan bisa terwujud hanya dengan kalimatnya. Kun, jadi. Maka terjadilah!” tambah Syekh Siti Jenar. “Namun ketika kita sudah berada pada tahapan tadi, mana mungkin akan tertarik pula dengan urusan dunia dan seisinya. Karena lebih nikmat didalam kemanunggalan tadi dibandingkan dengan dunia dan segala isinya.”

“Mungkin juga, Syekh.” Kebo Kenongo mengerutkan dahinya, mencoba mencerna uraian Syekh Siti Jenar.

“Untuk meyakinkan segala hal yang saya katakan sebaiknya Ki Ageng Pengging mencobanya.” saran Syekh Siti Jenar.

“Saya sering melakukan semedi dan tapabrata, Syekh. Namun yang dikatakan kemanunggalan kita dengan Sang Pencipta itu di sisi mana?” tanya Kebo Kenongo.

“Ketika wah’datul wujud.” Syekh Siti Jenar menghela napas dalam‐ dalam. “Saya baru bisa menjelaskan lebih mendalam jika Ki Ageng Pengging mencoba, lalu ada perbedaan dari sebelumnya. Maka hal itu baru saya uraikan kembali menuju Manunggaling Kawula Gusti. Sebab tidak mungkin saya mengurai sebuah persoalan jika seandainya Ki Ageng tidak menjelaskan terlebih dahulu hal yang mesti dibahas.”

Saya paham maksud, Syekh.” Kebo Kenongo menganggukan kepala.

“Saya mendapat kabar tentang pesatnya ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar.” ujar Sunan Bonang, duduk bersila di hadapan Sunan Kalijaga.

“Saya juga demikian, Kanjeng.” Sunan Kalijaga mengamini.

“Kenapa dia bisa berhasil dengan pesat dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Padahal dia bukanlah seorang wali?” Sunan Giri menyela.

”Benar, Kanjeng. Penyebaran ajaran dengan pesat di sini bukan berarti mayoritas, sebab Kanjeng Sunan Kalijaga pun cukup berhasil dalam upaya ini.” terang Sunan Bonang.

“Tidak lupa pula para wali yang lain.”

”Bukankah kita pun sebagai para wali telah menyisir seluruh pulau Jawa dalam upaya penyebaran ajaran Islam?” ujar Sunan Giri. Sunan Bonang menatap Sunan Kalijaga, berbicara melalui batinnya.

’Bukankah maksud kita bukan urusan pesatnya penyebaran yang akan dibicarakan. Tetapi tentang isi ajaran yang disampaikannya.’

‘Itulah yang membuat saya khawatir, Kanjeng Sunan Bonang. Namun mudah‐mudahan yang kita khawatirkan itu tidak..’

“Kenapa andika berdua terdiam?” Sunan Giri menatap Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. “Ada apa?”
”Tidak, Kanjeng Sunan Giri. Kita hanya memaklumi saja kemampuan seorang rakyat jelata seperti Syekh Siti Jenar mampu mengembangkan dan menyebar luaskan ajarannya. Itu yang sedang kami renungkan.” terang Sunan Bonang.

Share this: