Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat page 07

“Selamat datang, Kanjeng Sunan Kalijaga dan Kanjeng Sunan Bonang.” ujar Sunan Muria. “Silahkan duduk, Sunan Giri dan para wali sudah menunggu.”

Keadaan hening sejenak. Para wali saling tatap satu sama lainnya, tatapan Sunan Kalijaga beradu dengan Sunan Giri, lalu beralih ke Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan terakhir Sunan Bonang.

Sunan Kalijaga masih beradu tatap dengan Sunan Bonang, saling menembus batin, saling bercakap. Sementara percakapan batin mereka tidak bisa ditembus oleh sebagian wali.

“Pahamkah Kanjeng Sunan Kalijaga pada hari ini sidang para wali mengundang?” Sunan Giri membuka pembicaraan.

“Daripada saya menduga‐duga, alangkah lebih baiknya jika Kanjeng Sunan Giri menjelaskan.” ujar Sunan Kalijaga tenang.

“Tidakah andika menyadari akan tindakan yang dilakukan?” Sunan Giri melanjutkan. “Haruskah andika mengganti pakaian dengan mengenakan pakaian rakyat kebanyakan?”

“Itukah yang ingin Kanjeng Sunan Giri persoalkan?” tatap Sunan Kalijaga.

“Benar, karena tidak selayaknya seorang wali mengenakan pakaian serba hitam seperti halnya rakyat kebanyakan. Sudah semestinya seorang ulama atau wali memiliki ciri dengan mengenakan pakaian kebesaran yang serba putih, bersorban, dan lainnya.” urai Sunan Giri.

“Apakah setiap orang yang mengaku muslim akan batal keislamannya jika seandainya tidak berpakaian serba putih dan mengenakan sorban serta jubah?” tanya Sunan Kalijaga.

“Tentu tidak. Selama dia tidak murtad atau keluar dari agama Islam.” jawab Sunan Giri. “Lalu apakah yang salah pada diri saya?” kembali Sunan Kalijaga bertanya.
“Karena andika tidak mengenakan pakaian seperti halnya wali lain. Bukankah pakaian itu cermin dari seseorang yang mengenakannya? Juga pakaian serba putih itu ciri para wali?” ujar Sunan Giri.

”Saya tidak bisa disebut seorang ulama atau wali karena tidak mengenakan sorban dan pakaian serba putih? Jika hal itu alasannya maka saya tidak keberatan meski tidak disebut seorang ulama atau pun wali. Karena tujuan saya bukanlah ingin mendapat julukan dan dielu‐elukan banyak orang. Namun tujuan utama saya adalah berdakwah di tanah Jawa ini agar orang mau berbondong‐bondong masuk Islam, tanpa harus dibatasi oleh cara berpakaian dan latar belakang budaya yang mereka anggap asing.” urai Sunan Kalijaga. “Untuk keberhasilan dakwah saya rela menanggalkan jubah putih, serta berbaur dengan rakyat jelata. Itu cara saya. Jika cara saya berbeda dengan Kanjeng Sunan Giri itu hanyalah masalah teknis, bukankah aqidah kita tetap sama?”

Sunan Giri sejenak terdiam. Dahinya tampak dikerutkan, seakan‐akan merenungi ucapan Sunan Kalijaga. Belum juga dia berbicara, Sunan Kalijaga melanjutkan perkataannya.

“Bukankah rakyat kebanyakan berbondong‐bondong masuk Islam, mereka tidak segan lagi bersama‐sama saya untuk melakukan shalat berjamaah? Lantas sasaran Kanjeng Sunan Giri sangatlah terbatas, dengan hitungan tidak terlalu banyak dan ekslusif. Karena Kanjeng Sunan Giri menerapkan metode dakwah serta sasaran tertentu menurut Kanjeng.” ujar Sunan Kalijaga.

“Setelah saya renungkan dan saya pikirkan, baiklah kita tidak harus saling memaksaan dalam urusan metode dakwah.” Sunan Giri mencair. “Saya kira andika telah menyimpang dari Islam seiring dengan ditanggalkannya jubah putih, ternyata hanya cara yang berbeda.”

“Kenapa saya harus mengingkari ajaran Islam? Padahal dengan susah payah saya meraihnya. Tidak mungkin saya melepaskan ajaran Islam dari diri saya seperti halnya saya menanggalkan jubah putih. Itu berbeda, Kanjeng Sunan Giri.” tukas Sunan Kalijaga. “Saya lebih memilih melakukan pendekatan budaya, ketimbang menggunakan tata  cara yang bersipat asing bagi mereka.”

Masjid Demak Bintoro sejenak dalam keadaan hening. Tidak terdengar lagi suara yang bercakap‐cakap, selain bergeraknya tasbih di tangan para wali.

“Inilah padepokanku, Kisanak!” ucap Syekh Siti Jenar.

“Indah dan asri pemandangannya, Syekh.” Kebo Benowo tercengang melihat keindahan Padepokan Syekh Siti Jenar. Udaranya sejuk, keadaannya tenang, pohon hijau berselang dengan tanaman hias memagari jalan setapak yang sedikit menanjak menuju gerbang padepokan.

“Tentu saja harus indah dan asri, karena Allah itu Maha Indah. Kita selaku umatnya sudah seharusnya menciptakan suatu keindahan, agar kita mudah menyatukan diri dengannya. Kita berdialog dengan Allah, yang memiliki segala hal dan menciptakan segala makhluk.” terang Syekh Siti Jenar. “Masuklah kisanak!”

“Terimakasih, Syekh.” Kebo Benowo, masuk lebih dulu diikuti kedua teamnnya.

“Sebab jika kita merasa tertarik pada sesuatu, tentu saja kita akan selalu ingin memandangnya dan merasa kerasan untuk menikmatinya.” Syekh Siti Jenar duduk bersila di atas tikar pandan. Dihadapannya Kebo Benowo dan kedua temannya.

“Sungguh benar yang Syekh katakan.” ucap Kebo Benowo datar.

“Namun ruangan ini cukup luas, banyakkah orang yang berkumpul disini dan berguru pada, Syekh?” matanya mengitari seluruh ruangan.

“Untuk apa saya membuat ruangan sebesar ini jika tidak ada orang yang mau menempatinya.” Syekh Siti Jenar melirik ke arah gerbang padepokan. “Lihatlah disana!”

“Banyak sekali orang yang sedang menju ke padepokan ini?” Kebo Benowo dan dua temannya tercengang,   melihat rombongan orang yang berduyun‐duyun memasuki gerbang padepokan. “Jika demikian, bukanlah kami ini murid Syekh yang pertama.”

“Itulah sebuah kenyataan.” ujar Syekh Siti Jenar tenang.

“Jika demikian saya tidak akan bisa berkonsentrasi menyerap ilmu yang akan diajarkan Syekh?” wajah Kebo Benowo menggambarkan kekhawatiran.

“Mengapa tidak, Kisanak? Sebab saya tidak memiliki ilmu apa pun, dan tidak pula menganggap istimewa satu sama lainnya. Karena mereka memiliki asal yang sama dan kembali pada tempat yang sama.” terang Syekh Siti Jenar.

Share this: