“Saya tidak mengerti pada ucapan, Syekh?” Kebo Benowo mengerutkan keningnya. “Kenapa jawaban Syekh membingunkan kami?” timpal Loro Gempol.
“Apanya yang membuat kisanak pada kebingungan? Saya tidak pernah membuat bingung orang lain apalagi menyusahkan orang.” Syekh Siti Jenar menghentikan langkahnya, lalu menatap ke tiga rampok tersebut. “Hanya kisanaklah yang ingin membuat susah dan menyusahkan diri sendiri.”
“Apa maksud ucapan, Syekh?” ke tiga rampok hampir serempak menepuk dahinya masing‐masing. Kepala seakan‐akan mau pecah ketika mendengar setiap perkataan Syekh Siti Jenar.
“Saya manusia biasa seperti kisanak, bukan pemilik ilmu. Bukankah kisanak sendiri dan ilmu itu ada pemiliknya? Itukah yang membuat kisanak bingung?” tatap Syekh Siti Jenar, mengulang ucapannya.
“Itulah yang tidak kami pahami. Karena kami orang awam, tidak tahu segala hal yang Syekh ucapkan.” Kebo Benowo berusaha mencerna ucapan Syekh Siti Jenar. “Syekh tadi mengatakan, kalau diri Syekh adalah manusia biasa seperti saya,”
“Ya,”
”Bukankah Syekh memiliki ilmu yang hebat? Sedangkan kami tidak bisa apa‐apa?” ujar Kebo Benowo.
”Saya tidak memiliki ilmu yang hebat. Kisanak mengaggap tidak bisa apa‐apa, itu merupakan pernyataan yang sangat keliru.” Syekh Siti Jenar diam sejenak, matanya menatap satu persatu wajah orang yang diajak bicaranya.
“Kenapa tidak mau mengakui kalau diri Syekh memiliki ilmu yang hebat.” sela Kebo Benowo. Pikirannya semakin sumpek mendengar setiap perkataan Syekh Siti Jenar yang bersebrangan dengan realita yang dia pahami. “Malah pengakuan saya dianggap keliru,”
“Memang benar kisanak sangat keliru.” Syekh Siti Jenar, mendongak ke atas langit, “Tataplah bintang gemintang yang ada di atas kepala kisanak nun jauh di langit.”
“Apakah ada yang aneh dengan bintang‐gemintang di langit?” tanya Kebo Benowo. Belum menemukan celah terang atas segala perkataan Syekh Siti Jenar, pikirannya semakin ngejelimet.
“Bukan ada yang aneh atau tidak. Perhatikanlah bintang‐bintang? Kenapa tidak jatuh ke bumi dan menimpa kepala kita? Pernahkah terpikir dalam benak kisanak, siapa yang menahannya di langit?” Syekh Siti Jenar kembali menatap ke tiga rampok tadi.
“Benar juga. Tidak tahu. Mungkinkah kekuatan yang tidak nampak?”
“Kenapa kekuatannya tidak nampak? Siapa pula yang memiliki kekuatan yang tidak nampak itu?” tanya Syekh Siti Jenar.
“Saya tidak mengerti Syekh? Jika memang ada kekuatan siapa pemiliknya?”
“Dialah Allah. Allah itu penguasa semesta alam. Penggenggam setiap jiwa makhluknya.” ujar Syekh Siti Jenar. “Kita kembali pada ucapan saya semula. Maksud saya itulah tadi.”
“O…ya.” Kebo Benowo mengangguk‐anggukan kepala, rupanya mulai ada titik terang di benaknya.
“Jika demikian saya mulai terbuka dengan apa yang Syekh Siti Jenar uraikan tadi. Namun yang masih membingungkan, mengapa dianggap keliru jika saya mengatakan tidak bisa apa‐apa di banding kisanak.”
“Jika kisanak mengatakan tidak bisa apa‐apa, tentu saja mati. Hanya orang matilah yang tidak bisa apa‐apa.” terang Syekh Siti Jenar.
“Benar perkataan kisanak, Syekh.” Kebo Benowo mengagguk. “Namun maksud tidak bisa apa‐apa disini bahwa ilmu yang saya miliki jauh dibawah kehebatan ilmu Syekh.”
“Ya,” Syekh Siti Jenar mengangguk. “Itu bukan berarti bahwa saya lebih hebat dari kisanak. Hanya kisanak belum menemukan ilmu yang saya miliki.”
“Itulah yang saya inginkan dari Syekh. Beritahu saya cara menemukan ilmu tadi.” ucap Kebo Benowo.
“Akan saya tunjukan. Ikutlah kisanak ke padepokan saya!” Syekh Siti Jenar membalikan tubuhnya, kemudian melangkahkan kakinya dengan tenang.
“Terimaksih, Syekh.” Kebo Benowo dan kedua temannya sangat senang akan diberi ilmu hebat yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar. ***
Walisongo terus menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Sunan Kalijaga berbeda cara dengan wali lainnya. Lebih menyukai berbaur dengan rakyat kebanyakan, tanpa mengenakan pakaian serba putih seperti yang lainnya.
“Kanjeng Sunan Kalijaga, ternyata pendekatan budaya lebih bisa diterima ketimbang hanya membawa pesan belaka.” ujar Sunan Bonang.
“Karena antara kita dengan mereka nyaris tidak ada jarak pemisah.” jawab Sunan Kalijaga. “Ternyata hanya dengan cara berpakaian saja, mereka sudah sulit didekati.”
“Benar,” Sunan Bonang memaksakan tersenyum. “Namun dibalik keberhasilan andika ternyata menuai protes dari sebagian wali, terutama Kanjeng Sunan Giri. Hingga pada hari ini andika harus menghadap mereka dipersidangan para wali.” tambah Sunan Bonang.
“Tidak mengapa Kanjeng Sunan Bonang. Itulah resiko yang harus saya tanggung. Asalkan saya tidak menyimpang dari ajaran Islam,” Sunan Kalijaga menghela napas, seraya kakinya tetap melangkah beriringan dengan Sunan Bonang. “Saya menyimpang hanya dalam soal budaya, yang semestinya tidak harus terjadi perbedaan paham seperti sekarang.”
“Mungkin salah satunya itu.” Sunan Bonang mulai menginjakan kaki di gerbang masjid Demak. “Kita sudah sampai, Kanjeng.”
“Silakan Kanjeng Sunan Bonang duluan,” Sunan Kalijaga memasuki masjid Demak beriringan dengan Sunan Bonang yang sudah terlebih dahulu masuk.