Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat page 05

“Begitulah, Kanjeng Sunan Bonang. Namun sarana kita adalah wayang kulit. Karakter wayang yang kita ciptakan harus mencerminkan sosok orang baik, jahat, kejam, ulama, dan sebagainya. Karakter yang kita ciptakan adalah cermin lelaku kehidupan manusia.” Sunan Kalijaga, sejenak menatap awan yang melingkari puncak gunung, lalu kembali menatap lawan bicaranya. “Lelaku manusia yang berbuat baik akan menerima pahala baik, jahat pun sebaliknya. Setelah itu mereka bercermin, dalam karakter itu munculah sosok yang diteladani, yaitu karakter Kanjeng Nabi Muhammad dan para Sahabatnya.”

“Tapi kita tidak boleh mencipta Kanjeng Nabi dan para sahabat agung dalam sebuah bentuk ukiran..” sela Sunan Bonang.

“Tentu, dan kita tidak akan berbuat seperti itu. Namun kita akan menciptakan karakter wayang yang memiliki lelaku Islam. Rukun Islam itu ada lima, maka ciptakan lima sosok wayang berkarakter cerminan muslim. Kanjeng Nabi itu punya empat sahabat terbaik,

hingga menjadi lima dengan Junjunan Alam Rasulullah. Bentuklah Pandawa Lima, cerminan dari lelaku Kanjeng Nabi dan keempat sahabat terbaiknya. Lalu karakter jahatnya kita bentuk juga dari cerminan orang‐orang jahat…” ujar Sunan Kalijaga.

“Benar…” Sunan Bonang mengamini. Hingga keduanya berbicara panjang lebar membahas metode berdakwah dengan menggunakan gamelan sebagai pemikat dan wayang kulit sebagai medianya.

Matahari mulai menyelinap dibalik bukit, kirimkan sinar keemasan di langit sebelah barat. Awan berubah menjadi jingga, mengitari puncak pegunungan. Masa keemasan akan tiba seiring dengan perputaran roda kehidupan dan waktu.

Lagu Ilir‐ilir bergema sebelum waktu Magrib tiba, nyanyian bermakna mendalam ciptaan para wali. Rakyat menyanyikannya dengan gembira, ada yang memahmi akan makna dan maksudnya, ada pula yang masih buta akan isinya, ada pula yang hanya menikmati lirik dan syairnya saja.

Bedug Magrib tiba, mereka berbondong‐bondong menuju masjid Demak Bintoro untuk shalat berjamaah. Shalat Isya pun tidak mau mereka lewatkan, meski ajaran Islam belum diterima secara merata.

Dakwah yang dilakukan sebagain Wali melalui media wayang kulit dan tabuhan gamelan sebagai daya tarik. Cara seperti itu benar‐benar efektif bisa mengikat banyak orang berbondong‐bondong memeluk agama Islam.

Sunan Kalijaga melepas jubah kewalian, mengenakan pakaian serba hitam ala petani, rakyat jelata. Hingga tidak ada antara dirinya dengan rakyat. Rakyat lebih mudah didekati tanpa rasa curiga, karena Sunan Kalijaga berbaur didalamnnya.

“Kita belum juga menemukan jejak Syekh Siti Jenar,” ujar Loro Gempol. “Bukankah dia ke arah sini?”

“Tidak mungkin, saya punya keyakinan jika Syekh Siti Jenar menuju pusat Kota Demak Bintoro.” potong Kebobenowo.

“Kalau betul dia menuju Kota Demak, sangatlah sulit untuk menemukannya.” Lego Benongo menghentikan langkah, lalu duduk di atas batu di tepi jalan.

“Benar juga, Benongo.” Kebo Benowo mengerutkan keningnya, langkah pun terhenti sejenak, matanya menatap jalan yang masih panjang. Menarik napas dalam‐dalam. “Sebaiknya kita duduk‐duduk disini sambil cari makan, menunggu Syekh Siti Jenar pulang. Jika memang dia dari pusat Kota Demak Bintoro, tentulah pulangnya akan melewati jalan ini.”

“Itu baru benar,” sahut Lego Benongo, langsung saja merebahkan tubuhnya di atas rumput hijau di bawah rindangnya pohon jalan.

Sayap malam mulai mengembang, matahari telah menyelinap di balik bukit. Kelelawar beterbangan keluar dari sarangnya, bergembiraria menyambut datangnya malam.

“Ki Benowo, hari sudah malam. Apakah kita mau tetap disini menunggu Syekh Siti Jenar?” tanya Loro Gempol bangkit dari duduknya. Kepalanya mendongak ke atas menatap langit yang mulai tampak dihiasi gemintang.

“Benar juga, Gempol.” Kebo Benowo berdiri, menatap jalan yang terbentang panjang menuju pusat Kerajaan Demak Bintoro. “Lihat! Mungkinkah dia yang kita tunggu?”

“Syekh Siti Jenar?” timpal Lego Benongo.

“Kelihatannya Syekh Siti Jenar, Ki Benowo.” ujar Loro Gempol gembira. “Hebat, wajahnya memancarkan cahaya terang, padahal dia tidak membawa obor atau lampu.”

“Saya rasa itulah kehebatan ilmu yang dimilikinya.” duga Kebo Benowo. “Kita sudah benar menemukan seorang guru.”

“Tapi apa mau Syekh Siti Jenar mengangkat kita sebagai muridnya?” Loro Benongo meragukan. “Kalau tidak mau kita bunuh saja!” geram Loro Gempol.
“Kamu seperti tidak ingat saja, Gempol. Bukankah Syekh Siti Jenar itu sangat sulit dilukai?” Kebo Benowo mengingatkan. “Mana mungkin kita bisa membunuh, apalagi mengancamnya agar diagkat jadi murid. Sebaiknya kita bersikap lunak pada orang yang memiliki ilmu tinggi seperti dia.”

“Benar juga, Ki Benowo.” Loro Gempol mengagukan kepala. “Jika tetap tidak mau menerima kita sebagai muridnya?”

“Kita coba saja dulu,” ujar Kebo Benowo.

Syekh Siti Jenar telah mendekat, lalu melintas dihadapan Kebo Benowo dan kedua temannya. Syekh Siti Jenar sedikit pun tidak menyapa apalagi meliriknya, terus melangkah ke depan dengan tenang.

“Syekh,” Kebo Benowo mengerjanya. “Bolehkah saya berguru?”

“Mengapa mesti berguru? Kepada siapa kisanak akan berguru?” Syekh Siti Jenar tidak menghentikan langkahnya, dan tidak melirik.

“Karena saya ingin memiliki ilmu. Tentu saja saya ingin berguru pada Syekh Siti Jenar.” jawab Kebo Benowo.

Share this: