Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat page 04

“Ilmu apa itu Kanjeng Sunan Bonang?” tanya Sunan Gunung Jati, melirik ke arah Sunan Bonang.

“Ilmu ‘kun payakun’, jadilah, maka jadi. Apa pun yang diucapkan akan mewujud atau jadi.” terang Sunan Bonang.

“…benar. Ketika itu wujud saya berupa seekor cacing tanah. Setelah mendengar wirid ilmu tadi,lalu saya amalkan, seketika wujud saya berubah menjadi sekarang ini. Maka wajar jika saya pun disebut Syekh Lemah Abang. Cacing tadi terbungkus tanah berwarna merah, hingga saat ini saya pun masih memiliki ilmu tadi serta sekaligus mempelajari Islam secara mendalam. Ilmu Islam yang saya pelajari sudah diluar dugaan, mencapai tahap ma’rifat, tidak terduga. Namun saya tetap bukan seorang wali seperti saudara‐saudaraku yang berkumpul hari ini. Saya hanyalah rakyat jelata dari pedesaan yang berada di wilayah kekuasaan kerajaan Demak Bintoro.” Syekh Siti Jenar menerangkan.

“Andika tidak dianggap sebagai seorang wali karena asal‐usul yang kurang jelas.” ucap Sunan Giri.

“Saya bukan orang yang memiliki ambisi dan gila gelar, hanya untuk mendapat sebutan wali. Hingga saya pun menganggap bahwa diri saya hanyalah manusia biasa dan lahir sebagai rakyat kebanyakan. Namun kisanak menyebutkan tanpa asal‐usul yang jelas. Padahal yang namanya manusia jelas memiliki asal‐usul, jika menganggap bahwa manusia ada yang tidak memili asal‐usul berarti kisanak tidak memahami siapa diri kisanak sebenarnya? Dari mana asal kisanak?” ujar Sekh Siti Jenar.

“Andika jangan memutar balikan ucapan dan bermain kata‐kata!” suara Sunan Giri meninggi.

‘Syekh,’ Sunan Kalijaga menatap Syekh Siti Jenar, seraya berbicara dengan batin. ‘Saudaraku sebaiknya memaklumi keadaan secara lahiryah yang terjadi sekarang ini…’

‘Baiklah,’ batin Syekh Siti Jenar memberi jawaban.

“Kanjeng Sunan Giri, sudahlah! Kita tidak harus memperbincangkan asal‐usul.” Sunan Bonang memahami pembicaraan batin Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga. “Sebaiknya kita berbincang tentang upaya penyebaran agama Islam di tanah Jawa ini.”

“Baiklah, Kanjeng Sunan Bonang.” Sunan Giri menyetujui.

“Bukannya saya tidak ingin lama‐lama berbincang‐bincang dengan para wali yang agung di sini. Namun saya masih ada keperluan lain, disamping akan berusaha membantu para wali untuk menyebarkan ajaran Islam. Izinkanlah saya untuk berpamitan,” Syekh Siti Jenar bangkit dari duduknya.

“Andika mesti ingat ketika menyebarkan agama Islam yang agung ini jangan sampai keluar dari aturan para wali.” ujar Sunan Giri.

“Mohon maaf, Kanjeng Sunan Giri. Karena saya bukan wali, tentunya tidak terikat dengan aturan wali. Mungkin saya akan mengajarkan dan menyebarluaskan agama Islam dengan cara saya sendiri.” Syekh

Siti Jenar seraya menyalami semuanya, lalu Sunan Bonang dan yang terakhir Sunan Kalijaga.

‘Saudaraku selamat berjuang, mungkin pada akhirnya kita harus bertabrakan. Namun itu secara lahiryah….’ batin Sunan Kalijaga.

‘Tidak mengapa saudaraku Kanjeng Sunan Kalijaga…itulah tujuan menuju Allah dan jalan yang berlainan.’ Syekh Siti Jenar melepaskan tangan Sunan Kalijaga, seraya membalikan tubuhnya dan keluar dari masjid Demak diantar oleh tatapan para wali yang masih berdiri.

“Kanjeng Sunan Kalijaga, benar tadi batinmu berujar pada Syekh Siti Jenar.” Sunan Bonang menatap Sunan Kalijaga.

“Tinggal menunggu waktu, Kanjeng. Itu semua kehendaknya..” jawab Sunan Kalijaga.

“Kanjeng Sunan Bonang, Kanjeng Sunan Kalijaga, apa maksud pembicaran andika berdua?” tanya Sunan Giri.

Keduanya tidak berbicara lagi, karena sudah terdengar bunyi adzan Magrib, mereka menjawab, Allahu Akbar. Diikuti yang lainnya, meski dalam hati mereka menyimpan rasa penasaran dan keingin tahuan mengenai ucapan kedua wali tadi, untuk sementara disimpanya dalam hati masing‐masing.

“Kanjeng Sunan Bonang, kayaknya kita agak kesulitan untuk menyebarkan Islam disini.” Sunan Kalijaga memandang kerumunan orang.

“Kayaknya mereka lebih menyukai hura‐hura dan gamelan, Kanjeng Sunan Kalijaga.” tambah Sunan Bonang, matanya memperhatikan orang yang berkerumun menju pasar seni.

“Kita pun tidak perlu kalah, Kanjeng Sunan Bonang. Jika hanya mendengar kita berceramah kayaknya kurang tertarik, alangkah lebih baiknya kita pun harus mengadakan pendekatan budaya.” Sunan Kalijaga tidak melepaskan pandanganya dari kerumunan orang, lalu duduk di tepi jalan di atas batang kayu yang lapuk.

“Pendekatan budaya?” Sunan Bonang mengerutkan dahinya.

“Benar, pertama kita melihat sesuatu yang mereka sukai. Kedua, kita harus masuk ke dalam sistem budaya masyarakat.” Sunan Kalijaga bangkit dan membalikan tubuhnya ke arah Sunan Bonang. “Seperti yang kita perhatikan, masyarakat Jawa sangat menyukai gamelan. Untuk itu kita turuti kesenangan mereka, tidak ada salahnya membuat gamelan…”

“Membuat gamelan? Maksud Kanjeng Sunan supaya mereka mengerumuni gamelan yang kita tabuh. Upaya untuk mengumpulkan orang…” ujar Sunan Bonang.

“Ya, setelah mereka berkerumun karena tertarik dengan irama gamelan yang kita tabuh, disitulah kita berdakwah.”lanjut Sunan Kalijaga.

“Berdakwah, orang akan bubar. Lantas mereka tidak akan pernah berkerumun lagi karena tertipu,” Sunan Bonang mengerutkan dahinya sejenak. “…maksud saya gamelan itu hanya penarik dan pembuka acara dakwah kita.
Setelah itu tidak mengalun lagi….berarti selesai pertunjukan.”

“O, tidak seperti itu, Kanjeng Sunan Bonang. Gamelan harus terus mengalun, ketika kita menyampaikan pesan dakwah. Caranya juga bukan seperti yang biasa dilakukan para wali sebelumnya, namun ada canda dan filsafat.” terang Sunan Kalijaga.

“Maksud, Kanjeng? Jika demikian gamelan itu dijadikan sarana dakwah, bukankah itu seperti lakon, yang didalamnya diselipi pesan‐pesan.”

Share this: