Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat page 03

“Tidak mungkin kisanak. Sebab pedang bukan prajurit Allah, hanyalah sebuah benda mati.” Sekh Siti Jenar tetap tidak bergeming.

“Keparat, lihat saja!” si Kerempeng mengayunkan pedang dibarengi dengan emosi, pedang tidak pelak lagi menghantam sasaran, sebab Syekh Siti Jenar tidak menghindar sedikit pun.

“Hentikan!” si Tambun berteriak, matanya terbelalak.

“Diam kamu prajurit!” tiba‐tiba terdengar suara yang menggetarkan, beberapa saat kemudian muncul sosok lelaki berjubah hitam, mengenakan blangkon.

“Kanjeng Sunan Kalijaga,” si Tambun menahan kedip. Kemunculan Sunan Kalijaga yang baru keluar dari mesjid Demak sangat mengagetkan. Padahal Sunan Kalijaga tidak berbuat apa‐apa hanya berteriak tidak terlalu keras, tapi si Kerempeng mematung sambil mengayunkan pedang. “Hebat Kanjeng Sunan…” si Tambun menggeleng‐ gelengan kepala seraya menarik nafas dalam‐dalam.

“Selamat datang saudaraku, maafkan kelancangan prajurit Demak yang kurang memahami sopan‐santun.” Sunan Kalijaga menatap Syekh Siti Jenar yang tidak bergeming. “Tidak memilikinya sopan‐santun karena keterbatasan ilmu dan kedangkalan pengetahuan.”

“Benar, Sunan.” tatapan Syekh Siti Jenar beradu dengan mata Sunan Kalijaga yang sejuk dan berwibawa, lalu menembus ke dalam batin. Maka berbincanglah mereka melalui batin.

Sejenak keduanya saling tatap, lantas terlihat ada senyum tipis yang tersungging. Lalu saling peluk dan saling tepuk bahu. Setelah itu terlihat gerakan tangan Sunan Kalijaga mempersilahkan tamunya untuk menuju masjid.

Prajurit Tambun mengerutkan dahi, “Apa yang sedang mereka bicarakan? Kenapa berbincang‐bincang tanpa suara? Mungkinkah dengan saling menatap saja bisa berbincang‐bincang?”

“Sudahlah Saudaraku sesama muslim, kita berbicara secara lahiryah saja, sebab akan membingungkan orang yang melihat.” ujar Sunan Kalijaga, seraya berjalan berdampingan menuju masjid Demak.

“Baiklah, Sunan.” Syekh Siti Jenar mengamini.

“Ilmu apa yang mereka miliki?” si Tambun mengikuti langkah keduanya dengan tatapan mata, hingga menghilang di balik pintu gerbang masjid Demak. Lalu tatapan matanya berputar ke arah temannya yang baru saja bisa menggerakan tubuhnya.

“Gendut, kenapa aku tidak bisa bergerak waktu terjadi pertemuan antara Kanjeng Sunan dan tukang sihir.” si Kerempeng mengelus dada, sambil menyarungkan lagi pedang ditempatnya. Kemudian duduk, setengah menjatuhkan pantatnya di atas ruput hijau, kakinya dilentangkan, nafasnya ditarik dalam‐dalam.

“Itu semua pengaruh ilmu yang mereka miliki. Kita sebagai prajurit biasa tidak mungkin bisa mencapai ilmu para wali. Berbincang‐bincang juga cukup dengan tatapan mata, orang lain tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Sangat hebat.” si Tambun garuk‐garuk kepala. Otaknya tidak sanggup memikirkan, apalagi menganalisis perilaku Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga.

“Gendut, sebenarnya apa yang tadi terjadi ketika saya jadi patung?” si Kerempeng masih belum paham. “Kenapa si tukang sihir itu disambut baik oleh Kanjeng Sunan Kalijaga? Bukakah kita tidak boleh mempelajari apalagi mengamlakan ilmu sihir, hukumnya musrik!” si Kerempeng memijit‐mijit keningnya.

“Tentu saja, sihir itu musrik dan tidak boleh dipelajari. Hanya saya tidak yakin kalau yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar itu ilmu sihir.” jawab si Tambun, mencoba memprediksi.

“Lantas ilmu apalagi kalau bukan sihir? Lagi pula pembicaraannya melantur. Dia bilang Allah saja punya prajurit, itu aneh. Para Wali saja tidak pernah mengajarkan.” si Kerempeng garuk‐garuk kepala.

“Sudahlah, kita tidak boleh berburuk sangka! Mungkin ilmu yang kita miliki belum cukup untuk memahami Syekh Siti Jenar.” terang si Tambun, seakan tidak peduli.

“Silahkan masuk saudaraku, inilah masjid tempat kami berkumpul dan beribadah.” ujar Sunan Kalijaga, seraya mendapingi Syekh Siti Jenar memasuki masjid Demak.

“Terimakasih,” Syehk Siti Jenar berjalan berdampingan dengan Sunan Kalijaga menuju ruangan tengah masjid, menghampiri wali delapan yang sedang berkumpul.

“Selamat datang, Syekh.” sambut Sunan Bonang, menyodorkan kedua tangannya menyalami. “Silahkan,” “Siapakah Syekh ini?” tanya Sunan Muria.
Syekh Siti Jenar tidak menjawab, lalu menatap mata Sunan Kalijaga, menembus batinnya, seraya berbincang dengan batin.

‘Syekh, tidak seharusnya kisanak berbicara pada wali yang lain menggunakan batin. Pergunakanlah lahiryah kisanak, karena mereka bukan saya.’ ujar batin Sunan Kalijaga.

‘Saya kira mereka sama dengan kisanak. Jika demikian berarti mata batin mereka tuli dan buta. Hanya saudara Sunan yang paham batin saya. Baiklah jika saya harus berujar secara lahiryah, laksana orang‐orang yang tidak paham pada dirinya dan….’

‘Sudahlah, Syekh saudaraku. Batin kita tidak harus berbicara seperti itu. Karena mereka bukan kita, kita bukan mereka. Punya cara masing‐masing untuk memahami tentang wujud, maujud dan Allah. Mereka berlaku layaknya orang kebanyakan.’

“Apa yang sedang saudara bicarakan Sunan Kalijaga dan Syehk Siti Jenar? Sebaiknya kita kembali pada alam lahiriyah.” Sunan Bonang memecah keheningan. “Sebab yang hadir disini bukan hanya saudara berdua, ada yang lainnya.”

“Baiklah Kanjeng Sunan Bonang.” ujar Syekh Siti Jenar. Lalu dia duduk bersila disamping Sunan Kalijaga.   “Siapakah sebenarnnya Syekh ini? Apakah termasuk para wali seperti kita‐kita ini?” tanya Sunan Gunung Jati. “Saya Syekh Siti Jenar…” lalu melirik ke arah Sunan Kalijaga, seraya kembali ingin berbincang menggunakan batin.

‘Jangan, berbicaralah secara lahiryah.’ itu jawaban batin Sunan Kalijaga.

Syekh Siti Jenar mengangguk, seraya meneruskan perkataannya,”..saya hanya manusia biasa dan rakyat jelata. Namun saya secara tidak sengaja mendengar perbincangan Kanjeng Sunan Bonang dan Kanjeng Sunan Kalijaga ketika di atas perahu. Waktu itu Kanjeng Sunan Bonang sedang mengamalkan ilmu ’saciduh metu saucaping nyata’…”

Share this: