“Kenapa andika malah berdebat?” lirik Syekh Siti Jenar. “Bukankah tujuan andika berdua menangkap saya. Setelah diberi kemudahan malah diperdebatkan. Bawalah saya dan hadapkanlah pada Gustimu!”
“Andika menantang!” geram Pangeran Modang.
“Mengapa saya harus menantang? Andai benar itu tujuan andika?”
“Baiklah!” dorong Pangeran Modang, “Andika akan diadili, serta mendapatkan hukuman yang setimpal.” “Saya kira tidak melalui pengadilan dulu?”
“Bicara apa?”
“Masa kisanak tidak dengar?”
“Itu penghinaan, Syekh!” geram Pangeran Modang, “Jangan sekali‐kali andika bicara ngelantur. Untung saja belum berada dihadapan Gusti Sultan. Dosa dan kesalahan andika akan bertambah, akibat menghina pengadilan. Hukuman pun akan lebih berat! Itu mesti andika pahami!”
“Apa artinya hukum manusia?” “Tidak takutkah andika, Syekh?”
“Mengapa mesti takut, Pangeran. Tidakkah kehidupan manusia ini di dunia hanya sekejap.” desahnya pelan, “Tidakkah kisanak perhatikan indahnya matahari di upuk senja? Jika hari sudah senja, artinya tiada lama lagi malam akan tiba. Terpaksa atau tidak terpaksa indahnya senja akan terseret gelapnya malam. Bukankah teramat singkat dan cepat. Begitu pula kehidupan kita di dunia ini.”
Pangeran Modang diam sejenak, Pangeran Modang, Sunan Geseng, dan yang lainnya hanya menghela napas dalam‐dalam. Tiada salahnya yang diucapkan Syekh Siti Jenar. Meski demikian mereka tidak boleh hanyut terbawa arus pembicaraannya. Apa pun yang terjadi, Syekh Siti Jenar tetap merupakan musuh Negara dan Agama yang perlu mendapatkan hukuman.
“Cukup, Syekh!” sentak Pangeran Modang memecah keheningan sejenak.
“Andika diseret ke Demak bukan untuk berbicara tentang kehidupan. Semua orang tahu itu! Perlu andika ketahui! Andika digiring ke Demak Bintoro tiada lain untuk dipenggal!”
“Pangeran?” sela Sunan Geseng pelan.
“O…” hela Syekh Siti Jenar, “…teramat mudah menghilangkan nyawa orang dengan jalan dipenggal. Mestikah hukum penggal dilakukan demi menghilangkan nyawa orang?”
”Jangan salah arti, Syekh!” ujar Pangeran Modang, “Hukum penggal dilakukan bukan untuk menghilangkan nyawa orang! Ingatlah, pemenggalan dilakukan demi tegaknya hukum!”
“Bukankah pada akhirnya tetap untuk menghilangkan nyawa orang? Yang kisanak anggap sebagai musuh Negara?”
“…tidak…”
“Mengapa tidak? Bukankah setelah orang dipenggal dan lehernya putus akan mati? Itu sebuah pembunuhan, yang tidak memiliki rasa kemanusian sama sekali. Apa bedanya kisanak dengan menghargai binatang ternak yang disembelih?”
”Apa bedanya seorang penjahat seperti andika dengan hewan sembelihan? Bukankah tidak lebih rendah perbuatan andika dari binatang sembelihan?”
“Kisanakkah yang menentukan rendah dan terhormatnya derajat manusia?”
“Ini sudah menjadi ketentuan hukum…” Pangeran Modang mengerutkan keningnya, lalu lengan bajunya mengusap keringat yang mulai meleleh dari dahinya. “…hingga derajat andika dianggap setingkat dengan binatang sembelihan. Maka hukum penggal sugah semestinya…”
“Pangeran,” desis Sunan Geseng. ”Tidakkah perkataan Pangeran terlalu berlebihan? Bukankah pengadilan nanti yang akan menentukan di depan sidang para wali dan Gusti Sinuhun?”
”Ah, tapi…” Pangeran Modang tampak pucat. “Bukankah sepantasnya, Kanjeng Sunan. Jika Syekh Siti Jenar diberi sedikit penjelasan…maksud saya supaya tersadar akan kesalahan dan dosa‐dosanya. Sebelum hukum dijatuhkan dia mau bertobat…”
“Hahahaha….” Syekh Siti Jenar terkekeh, “….Pangeran perkataan kisanak berlebihan…”
“Diam, Syekh!” Pangeran Modang merah padam, lalu memukul pundak Syekh Siti Jenar hingga terhuyung.
”E…eh,” Syekh Siti Jenar menjaga keseimbangan.
“Dimas, mengapa berlaku demikian padanya?” tatap Pangeran Bayat.
“Maaf, Kakang. Dia terlalu angkuh dan selalu mencela kita. Arti nya melawan Pejabat Negara. Tidak sepantasnya bagi rakyat jelata melawan Pejabat.”
“Ternyata kisanak telah dilenakan dengan pakaian kebesaran, Pangeran.” sungging Syekh Siti Jenar. “Tidakkah antara si miskin dan si kaya, pejabat atau pun rakyat semuanya sama di depan hukum?”
“Siapa bilang?” geram Pangeran Modang. “Andika selain penghianat Agama dan Negara juga berani mencela setiap ucapan saya. Tidak sadarkah derajat andika dan saya berbeda. Andika hanya rakyat jelata, saya pejabat Negara. Mestikah saya hormat terhadap andika?”
“Benar…benar kisanak telah dibutakan gemerlapnya pakaian kebesaran dan singgasana jabatan.” sungging Syekh Siti Jenar, ”Kisanak telah lupa tentang asal muasal sendiri, apalagi hakikat hidup. Lantas tidakkah ingat bahwa Allah menilai manusia bukan karena parasnya yang cantik, bukan karena jabatannya, bukan karena miskinnya, tetapi orang yang paling mulia dihadapanNya hanyalah nilai ketakwaannya? Dunia, jabatan, kekuasaan, serta segala yang kisanak miliki tidak akan pernah menolong dan membantu ketika kita ber…”