Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat page 47

“Diam!” bungkam Pageran Modang, “Tidak..semestinya andika menggurui saya.” mukanya merah padam, matanya menyala terbakar marah. Kepalan tangannya menghantam lambung.

“Akhhh…” jerit lirih Syek Siti Jenar, merunduk.  “Rupanya andika harus mendapat pelajaran!” ketusnya.

“Dimas,” Pangeran Bayat menghentikan gerakan tangan Pangeran Modang berikutnya. “Kenapa, Kakang?”
“Sadarlah, Dimas? Tidak semestinya kita memperlakukan Syekh Siti Jenar secara kasar. Bukankah dia juga punya hak untuk mendapatkan keadilan yang wajar?”

“Tapi,”

“Hehe…andaikan pejabat negara seperti kisanak semua tidak mungkin keadilan akan tercapai. Tidak mampu mengendalikan amarah…alamat berantakan sistem hukum di negara ini.”

“Diam, andika, pesakitan!” bentak Pangeran Modang. “Jika buka mulut sekali lagi akan ku sumpal mulut andika…” “Pangeran, tindakan kisanak tidak mencerminkan sebagai seorang terpelajar dan sosok pejabat…”
“Mulai lagi andika! Bukannya diam dan merasa takut pada saya. Bukankah sudah tahu bahwa saya ini seorang terpelajar, juga pejabat negara. Beraninya bersikap tidak diam, malah membantah terus…”

“Mengapa saya mesti takut pada kisanak selaku pejabat negara dan terpelajar, bukan sebaliknya sosok kisanak mencerminkan prilaku yang sesuai dengan jabatan serta ilmu yang dimiliki?”

“Keparat!” Pangeran Modang semakin terpancing, hingga kembali mengayunkan kepalan tangannya ke perut. “Aduhhh…” Syekh Siti Jenar terhuyung.
“Mau lagi?” memamerkan kepalannya, dengan tatap mata beringas. “Bukannya andika ini orang sakti Syekh mengapa saya pukul sekali saja sudah nampak kesakitan?”

“Jika Pangeran masih mau memukul saya silahkan. Saya merasakan sakit saat dipukul kisanak hanyalah untuk menghormati kesombongan dan keadigungan adiguna….”

“Brengsek! Menantang rupanya andika, Syekh?!” Pangeran Modang kembala mengayunkan kepalan tangannya ke arah perut.

Drek, terasa kepalan tangannya menghantam baja.Mulutnya menyeringai menahan sakit. Tetapi yang dipukulnya untuk kali ini tidak bergeming. Hati Pangeran Bayat mulai ciut.

”Eeh…sihir apalagi yang andika gunakan, Syekh?”

”Pangeran, tidak semestinya seorang terpelajar dan memiliki jabatan menduga‐duga dan menuduh. Padahal tuduhan tadi menunjukan ketidakpercayaan diri kisanak.”

“Andika yang menduga‐duga?”

”Katakanlah dengan nurani, Pangeran. Tidak sepantasnya memutarbalikan kata andai itu hanya untuk melipur lara karna takut.” berdiri tegak, tatapan matanya yang tajam seakan‐akan menembus kelopak mata Pangeran Modang dengan seringainya menahan sakit.

‘Keparat, benarkah dia itu bisa membaca isi hati saya? Ah…mana mungkin manusia sanggup menyelami hati orang lain?’ sejenak termangu, telapak tanganya mengelus punggung tangan yang terasa sakit. ‘Jika tidak, mengapa dia tahu saya merasa ciut…’

“Benarkan apa yang saya katakan, Pangeran?”

”Diam!” geramnya, jari‐jemarinya dengan kasar menjabak leher baju Syekh Siti Jenar.

“Mana mungkin orang sekasar kisanak bisa mendalami agama dengan baik. Apalagi mendakwahkannya pada orang lain. Prilaku saja sudah tidak sanggup menarik simpati. Tidak salahkah para wali memungut kisanak sebagai abdi negara? Bukankah rakyat semacam saya ini perlu diayomi…”

“Tidak, karna andika bukanlah rakyat Demak Kebanyakan. Andika tiada lain pesakitan yang sudah semestinya mendapat perlakuan seperti ini.”

”Bukankah kesalahan saya ini belum terbukti, Pangeran?” “Nanti akan kita buktikan dalam persidangan…”
”Haruskah yang belum jelas kesalahannya diperlakukan sebagai pesakitan?” “Andika ini memang pesakitan!” bentaknya dengan muka memerah.
“Tidakkah kisanak dalam keadaan gusar? Setiap ujaran berbenturan dengan lainnya.”

”Diam!” Pangeran Modang merenung sejenak. Disisi lain rasa gengsi sangat kuat untuk memperlakukan Syekh Siti Jenar dengan cara yang kurang hormat, dipihak lain membenarkan ucapan musuhnya. “Sudah!” lalu menyeret   lagi.

“Sebaiknya Pangeran istirahat dulu…”

“Diam!” lalu membalikan tubuh ke belakang ternyata Pangeran Bayat menjauhi dirinya seakan berlari kembali ke Padepokan menghampiri para Sunan yang tidak mengikuti langkahnya. “Ada apa ini?” dahinya dikerutkan.

“Kenapa Kakang Bayat meninggalkan saya? Juga para Sunan tiada satu pun mengikuti, padahal tadi dibelakang.” “Jika demikian kita hanya berdua Pangeran?” terdengar lembut dan menakutkan.
“Diam!.” kembali berbalik, “Eeh…kemana Syekh Siti Jenar? Mengapa ikut lenyap, lalu…” Pangeran Modang mengerutkan keningnya, tangannya masih menggenggam kuat tambang pengikat pesakitannya. Yang diikatnya kini bukanlah Syekh Siti Jenar tetapi sebongkah gedebog pisang.

”Keparat! Saya telah kembali ditipu dengan sihirnya…” giginya gemeretak, tinjunya dikepalkan, mukanya merah padam. “Aneh, bukankah sedari tadi saya bicara dengan mereka…apa sebenarnya yang telah terjadi pada diriku?” Berkali‐kali telapak tangnya menepuk dahi, terasa dirinya betapa dungu dalam menghadapi kejadian tersebut.

“Lalu, benarkah tadi yang saya ajak bicara Kakang Bayat? Juga Para Sunan? Jika benar tentu mereka tidak akan meninggalkan saya begitu saja?”

”Haha…dasar bodoh! Andai mata hati kisanak tidak buta tentu tak seharusnya berbuat sebodoh itu….”

“Keparat! Siapa andika?” berputar‐putar mencari pemilik suara, terdengar seakan‐akan menusuk gendang telinganya.

“Buanglah yang menyebabkan hati kisanak menjadi buta. Belalakkanlah mata hati kisanak!” “Brengsek! Andika jangan mempermainkan saya! Ayo tampakan wujud Andika pengecut…” “Bukankah tadi saya sudah menasihati kisanak?”
“Saya tidak perlu nasihat orang pengecut…” “Kisanak masih belum paham juga…”

Oleh Herdi Pamungkas

Share this: