“Tentu!” Pangheran Modang maju, lantas mengikat lengan dan sekujur tubuh Syekh Siti Jenar, lalu disered. “Selesai, Kanjeng! Kakang Bayat! Betapa mudahnya menangkap orang ini tidak seperti hari sebelumnya menghilang segala. Mari kita kembali ke negeri Demak Bintoro.” tangannya menggenggam pesakitan seraya memaksanya untuk turun dari padepokan.
“Lha, kenapa amat mudah?” gumam Sunan Geseng. Lalu membalikan tubuhnya mengikuti langkah Pangeran Modang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan Pangeran Bayat.
Awan berlayar rendah di atas bahu puncak Gunung Lawu. Matahari berbinar kemerah‐merahan, mungkin marah atau terusik dengan suara bising di tepi hutan. Teriak lantang, dentingan senjata begitu nyaring.
Nun jauh dari keramaian rakyat negeri Demak Bintoro, berdiri pendopo megah terbuat dari kayu jati tidak berukir. Halamnnya yang luas dipagari pepohonan sebesar tubuh kerbau, daun rimbunnya menutup langit, pagar hidup dan tumbuh.
Loro Gempol berdiri di depan para lelaki telanjang dada, tubuh kekar serta berotot. Setiap tangan menggenggam pedang, lalu berpasangan saling serang.
Di sudut lain Kebo Benowo berdampingan dengan Joyo Dento, dihadapannya berdiri pasukan berbaju serba hitam. Tangannya menghunus keris, menggenggam tombak pasukan sebelahnya, paling samping dengan busur di tangan dan anak panah.
“Inilah pasukan gelap sewu!” gumam Kebo Benowo.
“Hanya saja kita kekurang satu pasukan lagi?” dahi Joyo Dento mengkerut. “Maksud andika?”
“Kita perlu pasukan berkuda.” “Kenapa tidak?”
“Persoalannya kita harus mengeluarkan modal yang lebih besar? Selain membeli kuda juga merekrut lagi warga Demak yang siap berjuang bersama kita.”
“Bukankah itu soal mudah, Dento?” “Maksud aki?”
“Taklukan lagi para rampok dan paksa orang‐orang kampung, terutama para pemudanya agar mengikuti kita. Perlu kuda kita melakukan perampasan…”
“Saya kurang setuju dengan cara demikian, Ki.” Joyo Dento meninggikan alisnya. “Meski dulu pernah melakukan cara itu. Namun itu hanya berlaku bagi para perampok. Bagi penduduk kampung tidak lagi dengan cara kasar.”
“Takutkah andika, Dento?”
“Sama sekali tidak, Ki.” “Lantas?”
“Tidakkah aki pikirkan seandainya kita menempuh cara lama dalam mengumpulkan orang tidak akan pernah menumbuhkan rasa simpati. Apalagi mendukung langkah kita,”
“Haruskah membeli?” tatap Kebo Benowo, “Bukankah kita tidak cukup modal untuk biaya makan mereka saja mengandalkan uang dan emas cipataan?”
“Tidak,”
“Lantas?” Kebo Benowo menggeleng. “Ide apa kali ini yang bersemayam di benak andika, Dento?” “Doktrin!”
“Maksudnya?” dahi Kebo Benowo mengkerut.
“Bukankah siasat ini berhasil?” sungging Joyo Dento. ”Keadaan rakyat Demak Bintoro terpengaruh dan kacau…” “Ajaran hidup untuk mati itukah?”
“Itulah!”
“Bukankah mereka sudah menganggap mati itu indah? Mana mungkin mereka menginkan kedudukan dan memiliki niat bergabung dengan kita?”
“Hahahaha…Ki Benowo! Jangan khawatir, bukankah orang‐orang yang akan kita pengaruhi tidak lain hanyalah masyarakat miskin dan bodoh?”
“Benar,”
“Mudah.”
“Syekh Siti Jenar yang memiliki ilmu sihir itu ternyata teramat mudah untuk saya seret ke hadapan Gusti Sultan.” tawa renyah Pangeran Modang mengurai gemerisiknya dedaunan tertiup angin.
“Dimas, Modang!” kerut Pangeran Bayat. “Tidak mungkin ini terjadi teramat mudah?” matanya tidak beranjak dari wujud Syekh Siti Jenar yang terikat dan disered‐sered Pangeran Modang.
“Tentu saja, Kakang. Mungkin ilmu sihirnya pada hilang gara‐gara berhadapan dengan Kanjeng Sunan Kalijaga yang memiliki ilmu tinggi.”
“Bukankah tempo hari juga yang menghadapi Kanjeng Sunan Kudus?”
“Entahlah…bukankah ketika berhadapan dengan Kanjeng Sunan Kudus masih sempat menghilang dengan sihirnya ketika akan ditangkap?”