“Tentu saja, sebab yang menilai orang lain sesat bukanlah diri si pelaku. Namun dalam hal ini orang kebanyakan dan umum. Artinya andika dihadapan umum sudah berbuat sesuatu yang tidak lazim, serta tidak semestinya.” Sunan Kalijaga perlahan melangkah, “Andika telah melanggar kesepakatan yang telah umum ketahui dan diakui kebenaran, ketepatan, serta lelakunya. Bukankah ketika saya sedang berada di atas panggung dan mementaskan gamelan, alat musik gong itu mestinya dipukul. Jika saya memperlakukan gong seperti gendang tentu saja akan ditertawakan orang yang sudah tahu, namun sebaliknya bagi yang awam hal itu akan di anggap benar. Sehingga lelaku itu benar menurut pengikut awam, padahal yang salah adalah yang mengajarkannya.”
“Seperti itukah lelaku saya saat ini?” “Ya, dari sudut pandang umum.”
“Tidakkah disadari meski gendang pun bisa dipukul menggunakan batang kecil yang seukuran. Lihatlah bedug, bukankah itu pun gendang besar yang menggunakan alat pukul seperti halnya gong?”
“Benar,”
“Seandainya benar mengapa saya dianggap bersalah dan sesat?”
“Karena saya memandang dari sudut pandang umum dan kepentingan negara.”
“Jika demikian Kanjeng telah terikat dengan kekuasaan dan melupakan esensi kebenaran, yang bersifat mutlak.”
“Mungkin menurut pandangan khusus demikian, Syekh.” Sunan Kalijaga berhenti sejenak. “Pada intinya hendaklah Syekh menahan diri untuk menyebarkan ajaran yang dianggap sesat secara umum.” lalu mata batinnya menembus jiwa Syekh Siti Jenar.
“Mengapa mereka saling adu tatap? Tidak terdengar lagi bicara?” gumam Pangeran Modang.
‘Saya sangat memahami tugas Kanjeng secara lahiryah dan kenegaraan. Bukankah esensi ajaran Islam yang sesungguhnya berada dalam jiwa, ketika kita telah berada dalam tahapan ma’rifat, akrab, serta manunggaling kawula gusti.’
‘Hanya sayang kesalahan Syekh menganggap sama setiap orang. Padahal tidak seharusnya mengajarkan ilmu yang Syekh pahami pada orang yang bukan padanannya. Hingga menyeret orang untuk melukar syariat….’
“Kanjeng Sunan Bonang, mengapa mereka saling tatap?” Pangeran Modang mendekat, lalu berdiri disamping Sunan Bonang.
“Mereka berbicara melalui mata hati. Orang kebanyakan menyebutnya batin atau kebatinan.” “Apa yang dibicarakannya, Kanjeng?” tatap Pangeran Bayat.
“Ya, tidak jauh dari persoalan yang kita bawa, Pangeran.” lalu tatapan mata Sunan Bonang menyambangi batin Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. ‘Benar, Syekh. Hingga dengan ajaran tadi orang yang baru mengenal dan belajar Islam menganggap syariat itu tidak penting. Mestinya manusia itu berjalan melewati tangga tahap pertama, tidak semestinya loncat pada tangga yang lebih atas…’
“Lha, sekarang ketiga‐tiganya jadi saling tatap. Jadi bingung apa itu batin?” Pangeran Modang garuk‐garuk kepala, “Lalu kita semua hanya menyaksikan orang yang meneng‐menengan…”
“Kanjeng Sunan Kudus?” tatap Pangeran Bayat.
“Baiklah,” Sunan Kudus menyentuh tangan Sunan Bonang, “Kanjeng, alangkah lebih baiknya jika pembicaraan andika bertiga terdengar secara lahiryah.”
“Hehhhhmmmm…” Sunan Bonang menarik napas dalam‐dalam, seraya mencerna permintaan Sunan Kudus. “Ya, tentu harus terdengar. Kanjeng Sunan Kalijaga, Syekh, lahirkanlah pembicaraan andika berdua!”
Keduanya masih belum melahirkan setiap ucapannya, seakan‐akan sedang berdebat dengan tatapan matanya masing‐masing. Tanpa ada gerak, bahkan komat‐kamit mulut yang meluncurkan setiap kalimat sanggahan dan pernyataan. Yang terdengar hanyalah suara jubah mereka masing‐masing yang berkelebatan tertiup angin pegunungan.
“Kanjeng Sunan,” ujar Pangeran Bayat, tatapan matanya tertuju pada Sunan Kalijaga.
“Saya paham, Pangeran.” Sunan Kalijaga tersenyum, kembali beradu tatap dengan Syekh Siti Jenar. ‘Syekh, tidak setiap ajaran Islam yang andika tafsirkan dan pahami bisa disebarkan secara merata. Pemahaman dan pencernaan tentang hal yang tidak tersirat dan tersurat dalam alquran, hendaklah pilih‐pilih, untuk siapa itu? Dimana? Lalu tahapan aqidahnya? Sebab ilmu itu ada yang bisa disampaikan melalui dakwah secara umum, terbuka, juga ada yang semestinya harus dikonsumsi dan ditelaah berdasarkan tingkatan tertentu.’
“Mengapa mereka masih saling tatap?” Pangeran Modang masih kebingungan.
“Baiklah, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar menganggukan kepala, “Bagi saya setiap orang adalah sama. Sama sekali tidak ada tingkatan yang lebih rendah dan lebih tinggi. Masa mereka tidak sanggup mencerna dan menelaah setiap pemikiran saya?”
“Sekarang sudah terdengar…” Pangeran Modang tersentak, “…tapi apa yang dibicarakannya…memekakan gendang telinga dan tidak nyambung…” lalu menghela napas dalam‐dalam.
“Andika berkata demikian, Syekh. Karena pembicaraan ini terdengar oleh umum. Tidak semestinya mengharuskan orang lain berada dalam tahapan yang sama dengan andika.”
“Bukan salah saya, merekalah yang tidak mau mengerti dan memahami. Sehingga muncul kalimat bodoh yang menduga‐duga, serta merta memojokan dan menyudutkan semisal saya dan para murid.”
“Apa yang andika bicarakan, Syekh?” tanya Pangeran Modang, “Dari tadi saya perhatikan terus ngelantur. Tidakah sadar jika andika ini telah menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan?”
“Perlukah saya bicara panjang lebar dengan andika, Pangeran?”
“Tidak perlu!” tatap Pangeran Modang, “Apa lagi yang mesti kita bicarakan? Kecuali menangkap dan memenjarakannya, kalau perlu dihukum sekalian. Mesti berdebat pun tentu saja pembicaraan andika akan lebih melantur kemana‐mana. Memutar balikan fakta, serta membolak‐balikan kalimat. Mana mungkin orang yang sudah dituduh bersalah mengakui kesalahannya, selain mengelak dan berusaha mencari alasan agar terlepas dari hal yang dituduhkan.”