Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat page 43

“Rayi Modang itu ibaratnya?” timpal Pangeran Bayat.    “Ah…bingung saya kakang…” Pangeran Modang garuk‐garuk kepala.
“Kita telah sampai di wilayah Desa Khendarsawa.” Sunan Bonang mengangkat wajahnya ke atas, menatap langit yang tiba‐tiba terang benderang. Tidak ada angin kencang, petir, bahkan guntur.

“Aneh?” Pangeran Modang memijit‐mijit keningnya, “Lihatlah Syekh Siti Jenar sudah tidak lagi menyihir Desa Khendarsawa. Hebat juga!”

Matahari kembali bisa menunaikan sisa tugasnya menatap Desa Khendarsawa, tanpa terhalang mega tebal yang menggumpal. Hanya lapisan, serta lembaran awan putih tipis menyertainya. Laksana lembaran kertas yang akan ikut serta mencatat sejarah kehidupan manusia yang terjadi di bawah tatapan matahari.

Utusan dari Demak Bintoro menambat kudanya di bawah pohon rindang. Sunan Kalijaga melangkah pelan dikuti yang lainnya, matanya menyapu kaki bukit tempat Syekh Siti Jenar bersemayam. Anak tangga berbaris hingga menyentuh ketinggian bukit, untuk mengantar siapa saja yang hendak menemui penghuninya.

“Kanjeng, itulah tangga susun menuju padepokannya.” lirik Pangeran Bayat.

“Sangat banyak anak tangganya!” gerutu Pangeran Modang, “Hampir tidak terhitung jumlahnya…saking banyaknya…” tangannya menyeka keringat yang menetes dikeningnya.

“Ya, itulah tangga kehidupan….” terdengar suara Syekh Siti Jenar menggema.

“Lha, dimana orangnya?” Pangeran Modang memutar tatapan matanya, “Mulai lagi menggunakan ilmu sihir…”

“Saya kira Syekh Siti Jenar sudah tahu kedatangan kita, Kanjeng?” lirik Pangeran Bayat, “Padahal keberadaan kita masih jauh dari padepokannya…”

“Bukan Syekh Siti Jenar jika gelap mata hatinya, Pangeran.” Sunan Kalijaga tersenyum.

“Kanjeng Sunan bisa saja…” gema suara Syekh Siti Jenar. “Selamat datang di padepokan saya saudaraku Kanjeng Sunan Kalijaga, Kanjeng Sunan Bonang dan lainnya.”

“Terimakasih, Syekh.” Sunan Bonang beradu tatap dengan Sunan Kalijaga.

“Orangnya dimana?” Pangeran Modang berusaha mencari jejak Syekh Siti Jenar dengan tatapan matanya. “Kanjeng, dimanakah dia?” tatapnya pada Sunan Bonang.

“Tentu saja di padepokannya, Pangeran.”

“Aneh….?” tangannya memijit‐mijit kening, “Padahal masih harus melewati beberapa tangga dan bentangan jalan. Mengapa suaranya sangat dekat, seakan‐akan berada dihadapan kita? Tidakah sedang menghilang menggunakan ilmu sihirnya?”

“Tidak,”

“Heran?” tatap Pangeran Modang pada Sunan Bonang, “Sangat tinggi ilmu sihirnya…”

Setahap demi setahap Sunan Kalijaga dan rombongan menginjak tangga yang terbuat dari pahatan batu padas. Berkali‐kali Pangeran Modang menghela napas, seraya menyeka keringat. Seperti yang lainnya, terkecuali Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga tidak tampak lelah apalagi menyeka keringat, tubuhnya seakan‐akan tidak memiliki bobot.

“Mengapa Kanjeng Sunan mesti menapaki tangga? Tidak sebaiknya langsung saja berdiri dihadapan saya?” gema suara Syekh Siti Jenar.

“Tidak semestinya saya meninggalkan rombongan.” Sunan Kalijaga melirik ke arah Sunan Bonang yang tersenyum. “Juga sangat tidak menghargai Syekh Siti Jenar yang telah susah payah menciptakan tangga, jika kaki saya tidak menyentuhnya….”

“Kanjeng, apa maksud ucapan Syekh Siti Jenar?” Pangeran Modang melongo. “Aneh…kenapa Kanjeng berdua tidak tampak lelah apa lagi berkeringat…kelihatannya enteng. Apakah Kanjeng juga punya ilmu sihir?”

“Mengapa pangeran bertanya demikian?” tatap Sunan Kalijaga, “Padahal kaki saya seperti halnya Pangeran menyentuh tangga. Saya tidak merasa berat dan mungkin sering latihan….”

“O…pantas…” Pangeran Modang geleng‐gelengkan kepala. “Memang saya malas berolah raga…apalagi memanjat gunung…”

Matahari semakin nampak, panasnya terik menguliti tubuh. Seakan‐akan ingin puas menyinari para penghuni bumi. Itu semua terseka dengan tiupan angin sepoi‐sepoi, mengusir sengat dan keringat panas.

“Inilah padepokan saya, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar menyambut Sunan Kalijaga beserta rombongan dari Negeri Demak Bintoro. Dibelakangnya berdiri beberapa muridnya, dengan sorot mata tenang.

“Syekh, saya telah kembali!” Pangeran Modang geram, “Kali ini andika tidak akan bisa lolos…”

“Tenang, Pangeran.” Sunan Kudus meletakan jari telunjuk dibibirnya.

“Saya akan berujar secara lahiryah…” tatap Sunan Kalijaga, “Kali ini saya datang selaku utusan dari negeri Demak Bintoro.”

“Tentu saja harus secara lahiryah, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar tersenyum, tatapan matanya menyapu wajah para utusan dari negeri Demak Bintoro. “Jika hal itu merupakan keharusan, apalagi sebagai utusan. Hanya untuk menghindari fitnah bagi andika, Kanjeng.”

“Ya, saya kira demikian.” “Baiklah,”
“Saya kali ini ditunjuk sebagai pimpinan rombongan. Tentu saja agar tidak gagal memboyong Syekh ke negeri Demak Bintoro. Itu kepercayaan Raden Patah dan Kanjeng Sunan Giri selaku ketua Dewan Wali yang memutuskan.” Sunan Kalijaga berhenti sejenak, “Ada pun alasannya saya menangkap Syekh, karena diduga telah menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan. Betulkan demikian?”

Share this: