Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat page 42

“Saya akan mengutus Dimas Bayat, Pangeran Modang, dan beberapa prajurit tangguh. Seandainya mereka sulit ditangkap!” ujar Raden Patah.

“Saya rasa tidak perlu melibatkan banyak prajurit, Raden.” ujar Sunan Bonang, “Sebab kita tidak sedang berperang melawan pasukan musuh. Tetapi kita hanya ingin menangkap sosok Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat dan memiliki ilmu cukup tinggi. Bukan lawan prajurit, dia tidak bisa dikalahkan dengan pasukan. Percayalah pada Kanjeng Sunan Kalijaga…”

“Mudah‐mudahan berhasil,” ujar Sunan Giri, “Kita harus segera menjatuhkan hukuman. Jika dibiarkan terlalu lama, saya takut ajarannya semakin meluas. Sebab apa yang diajarkannya sangat kental dengan kehidupan masyarakat Demak sebelumnya.”

“Mudah‐mudahan,” ujar Sunan Bonang.

“Pertama ajarannya benar‐benar sesat. Masa tuhan bisa manunggal dengan dirinya, manunggaling kawula gusti.” ujar Pangeran Bayat, “Kedua saya melihat dengan mata kepala sendiri, hadirnya Ki Ageng Pengging alias Ki Kebo Kenongo disampingnya. Jadi tuduhan makar dan isu politik melatar belakangi disebarnya ajaran sesat dan menyesatkan. Jika hal ini dibiarkan, sangat jelas akan merongrong wibawa dan keutuhan negeri Demak Bintoro. Padahal selama ini kita berusaha membangun, mempertahankan, dan membelanya.”

“Ya, saya pun meyakini hal itu, Gusti.” tambah Pangeran Modang, “Selain ingin menodai perjuangan para wali, padahal tujuan utamanya politik. Ingin mendudukan Ki Ageng Pengging sebagai Raja Demak Bintoro. Ditebarnya isu penyebaran ajaran sesat semata untuk mengalihkan perhatian pemerintah, dimana lengah gerakan makar pun berjalan.”

“Sejauh itukah pengamatan, Pangeran?” tatap Sunan Geseng, “Padahal saya lebih sependapat dengan Kanjeng Sunan Kalijaga. Hendaklah persoalan politik dipisahkan dulu dengan persoalan agama.”

“Maaf, Kanjeng. Justru agama lebih mudah ditunggangi kepentingan politik, mengingat masyarakat Demak Bintoro mayoritas muslim.” ujar Pangeran Modang, “Saya berkesimpulan demikian berdasarkan hasil penyelidikan, lihat pula latar belakang Ki Ageng Pengging?”

“Masuk akal juga,” Sunan Giri menyapu wajah Raden Patah dengan tatapan matanya.

“Jika itu terbukti, artinya Syekh Siti Jenar jelas memiliki dua kesalahan. Pertama mengajarkan ajaran sesat, kedua mendukung Ki Ageng Pengging melakukan makar.” ujar Raden Patah.

“Untuk membuktikan semuanya, biarlah hari ini juga saya akan menjemput Syekh Siti Jenar.” tatap Sunan Kalijaga, “Hingga kita tidak larut dalam bayang‐bayang dugaan…”

Langit mendung, awan hitam bergulung‐gulung bergerak cepat kerumuni angkasa. Petir berkilatan, diikuti guntur menggelegar memekakan gendang telinga. Angin bertiup sangat kencang memisahkan daun dan ranting kering dari cabang pepohonan.

Bergerak di atas langit Desa Khendarsawa. Petir menyabar batang pohon, terbakar serta jadi arang dalam sekejap. Abunya berhamburan di halaman padepok Syekh Siti Jenar.

Para murid Syekh Siti Jenar tersentak, seraya bangkit dari duduknya, puluhan pasang mata tertuju pada batang pohon yang berubah jadi abu dalam sekejap.

“Pertanda alam apa lagi?” gumam Ki Chantulo, tatapannya menyapu wajah Syekh Siti Jenar yang tampak tenang. “Kematian…”
“Maksud, Syekh?”

“Lihat saja nanti.” melangkah pelan keluar dari ruang padepokan, seakan‐akan menyambut tamu yang akan datang.

Para muridnya yang berada di dalam ruangan belum juga keluar, mereka hanya mengantar langkah gurunya dengan tatapan mata penuh pertanyaan.

Matahari semakin ketakutan, menyelinap di antara gelapnya mega yang bergulung‐gulung. Angin semakin kencang dibarengi petir dan kilat, seakan menjadi‐jadi.

Utusan Negeri Demak Bintoro telah berada di gerbang Desa Khendarsawa. Sunan Kalijaga berdampingan dengan Pangeran Bayat duduk di atas pelana kuda hitam, di belakangnya Pangeran Modang, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Geseng.

“Lihatlah, Kanjeng!” Pangeran Modang menunjuk langit, “Sihir Syekh Siti Jenar hebat sekali. Dia bisa menciptakan petir, angin kencang, dan guntur. Padahal sebelum memasuki Desa Khendarsawa tidak ada.”

“Mungkinkah dia telah mengetahui kedatangan kita, Kanjeng?” lirik Pangeran Bayat. “Ya,” jawab Sunan Kalijaga, matanya tertuju ke depan.
“Apakah gejala alam ini sengaja dia ciptakan untuk menyambut kedatangan kita?” “Tidak, Pangeran.”
“Tapi…bukankah…”

“Pertanda alam ini lahir dengan sendirinya.” Sunan Kalijaga memperlambat langkah kudanya, “Ingatkah Pangeran pada ilmu hamamayu hayuning bawanna yang dimilikinya?”

“Ya, namun saya kurang paham?”

“Inilah bukti kemanunggalan Syekh Siti Jenar dengan alam…” “Maksudnya?” Pangeran Modang ikut bertanya, keningnya berkerut‐kerut.
“Jika kaki Pangeran terantuk batu, yang berteriak mengaduh kesakitan apakah kaki atau mulut?”

“Tentu saja mulut, Kanjeng. Mana mungkin kaki bisa berteriak kesakitan.” Pangeran Modang memijit‐mijit kening, “Apa hubungannya ilmu sihir yang ditebarkan Syekh Siti Jenar dengan pertanyaan Kanjeng Sunan Kalijaga?”

Share this: