Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat page 41

“Mengapa mereka demikian, Syekh?” Ki Donoboyo mendekat, “Tidakkah mereka memiliki ilmu yang setarap dengan, Syekh?”

“Jika andika bertanya tingkatan, artinya ada yang tinggi dan rendah.” Syekh Siti Jenar menghentikan langkahnya, “Padahal tidak semestinya kita menilai manusia dengan tingkatan. Semua manusia dihadapan Allah sama. Yang membedakan hanyalah cara mensyukuri segala hal yang diberikanNya.”

“Maksudnya?”

“Menggunakan sesuatu sesuai dengan yang seharusnya….” “Masih bingung, Syekh?” Ki Donoboyo garuk‐garuk kepala.
“Sang Pencipta telah menciptakan tangan untuk apa? Kaki sesuai fungsinya, tentunya untuk berjalan…” Kebo Kenongo mencoba menjelaskan, “Mata untuk melihat, akal untuk berpikir…”

“Itulah artinya mensyukuri nikmat, secara singkat.” tambah Syekh Siti Jenar. “Seandainya mereka mengasah mata batin, tentu bisa memandang keberadaan kita. Tidak ada sesuatu yang tersembunyi meski sebesar zarah, atom, lebih kecil dari debu, seandainya mata hati kita telah terbuka.”

“Kenapa saya juga belum bisa?” tanya Ki Donoboyo.

“Sebetulnya mereka pun, atau ki Donoboyo sudah bisa, tetapi tidak secantik saya melakukannya.” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Orang lain akan mengatakan mungkin saya yang telah lebih dulu, dia belakangan.”

“O, Syekh tahapan lebih tinggi mereka lebih rendah. Pantas tingkat ketinggian pun bisa mempengaruhi sudut pandang dan jangkauan mata kita.” ujar Ki Chantulo, “Di atas ketinggian apalagi dipuncak gunung semuanya akan terlihat, berbeda dengan mereka yang masih di kaki gunung…”

“Hahahaha….” Ki Donoboyo tertawa jika demikian saya paham, “Pantas mereka cepat pergi karena merasa kalah dan tidak mampu menangkap kita.”

“Tidaklah perlu terlalu gembira.” tatap Syekh Siti Jenar, “Mereka tidak akan berhenti sampai disitu. Suatu ketika akan kembali dan menjemput saya…”

“Siapakah yang mampu mengalahkan kesaktian, Syekh?” tanya Ki Donoboyo.

“Rasanya saya tidak perlu mendahului kehendakNya. Di antara para wali tentu saja….” Syekh Siti Jenar mendadak menghentikan kalimatnya, wajahnya mendongak ke langit. “Hampir gelap. Andika sebaiknya turunlah dari padepokan ini, keluarlah dari Khendarsawa. Sebarluaskan ajaran kita! Meski jasad kita telah terkubur, ruh, dan ajaran tidak akan pernah mati. Kecuali sebagian saja yang tinggal di padepokan ini….”

Tiba‐tiba kilat membelah langit, diikuti suara guntur menggelar memekakan gendang telinga. Perkataan Syekh Siti Jenar seakan‐akan mendapat restu dan kesaksian dari langit.

“Hamamayu hayuning bawanna…” gumam Ki Chantulo ternganga.

“Gusti, maafkan kami tidak berhasil membawa serta Syekh Siti Jenar.” Pangeran Bayat merunduk di depan Raden Patah.

Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Gresik, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Ngudung, Sunan Geseng, Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, Pangeran Modang dan para adipati telah lama berada di atas tempat duduknya. Dalam batinnya masing‐masing memikirkan dan mencerna, sesuai dengan kadar ilmu yang dimilikinya, tentang ketidakberhasilan memboyong Syekh Siti Jenar.

“Kami tidak sanggup melawan ilmu sihirnya, Gusti.” Pangeran Modang mengacungkan sembah. “Haram! Islam tidak boleh menguasai ilmu sihir apalagi mengamalkannya….”
“Maaf, Kanjeng Sunan Giri.” Sunan Kudus angkat bicara, “Saya rasa Syekh Siti Jenar tidak memiliki ilmu sihir…”

“Tapi, Kanjeng. Bukankah dia bisa menghilang? Saya sendiri dibuatnya mematung bagaikan arca.” timpal Pangeran Modang.

“Itu bukanlah ilmu sihir setahu saya…” Sunan Kalijaga menatap Raden Patah, “Merupakan salah satu ilmu yang diajarkan pada murid‐muridnya, terkadang kita menganggapnya sesat. Mungkin karena tidak pernah ditemui dalam syariat Islam. Umat Islam tidak disyariatkan untuk bisa menghilang…”

“Benar,” Sunan Kudus melirik, “…mungkin itulah ajaran thariqatnya.”

“Disitulah letak kesalahannya, Kanjeng.” Sunan Giri perlahan bangkit, “Islam itu seakan‐akan ilmu yang terkait dengan hal‐hal mistis. Sehingga ajaran yang disebarluaskannya bisa menodai perjuangan kita. Padahal selama ini kita berusaha membasmi ajaran‐ajaran yang berbau bid’ah, kharafat, tahayul, dan musrik. Toh…dia malah mengajarkan hal‐hal aneh. Tidaklah sebaiknya mengajarkan bagaimana…cara shalat yang benar…”

“Ya, padahal keimanan rakyat Demak Bintoro pada saat ini masih rapuh.” ujar Raden Patah, “Belum juga memahami bag‐bagan fikih…malah loncat ke hal‐hal yang berbau mistis.”

“Bagi orang awam sudah barang tentu, akan mengulang perbuatan menyimpang dari syariat Islam.” Sunan Kalijaga berhenti sejenak, “Ya, mungkin inilah warna kehidupan. Saya kira sepenuhnya kebijakan milik negara dan dewan wali…”

“Untuk itu tetap, Syekh Siti Jenar harus ditangkap!” ujar Sunan Giri, “Kali ini sebaiknya Sunan Kalijaga saja yang berangkat?”

“Saya setuju,” ujar Raden Patah, “Namun tidaklah sendiri…”

“Seandainya ini tugas negara dan perintah dari ketua Dewan Wali…insya allah.” Sunan Kalijaga menatap Sunan Bonang, mata hatinya mulai berbincang, ‘Kanjeng, meski bagaimanapun juga tetap hal ini akan terjadi.’

‘Saya kira guratan taqdir berkata demikian. Terpaksa atau tidak terpaksa Kanjeng Sunan Kalijaga harus melakukannya.’ tatap Sunan Bonang.

“Ada apa Kanjeng Sunan Bonang, Kanjeng Sunan Kalijaga?” tatap Sunan Giri, “Adakah hal penting terkait dengan persoalan ini perlu diperbincangkan?”

“Rasanya tidak ada, Kanjeng.” ujar Sunan Bonang, “Mungkin saya akan turut serta bersama Kanjeng Sunan Kalijaga…dan beberapa wali lainnya.”

“Baiklah,” Sunan Giri Menganggukan kepala.

Share this: