Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat page 38

“Keberkahannya yang lenyap, Syekh?” potong Kebo Kenongo, “Banyak orang memahami ajaran Islam bahkan pasih membaca alquran, tetapi prilakunya menyimpang. Kadangkala Alquran dan agama hanya dijadikan alat…”

“Ya, dijadikan alat untuk berkuasa dan menguasai serta membodohi rakyat. Seperti halnya para penguasa negeri Demak Bintoro…”

“Hentikan, Ki Chantulo! Saya tidak mengharuskan menuduh orang lain seperti yang diuraikan di atas. Jika  demikian berarti jiwa dan hati kita pun sudah tercemari dengan rasa benci dan berburuk sangka. Biarlah Allah yang menilai baik dan buruknya seseorang. Bukankah dalam setiap diri manusia ada malaikat pencatat amal kebaikan dan kejelekan?” tatap Syekh Siti Jenar, “Mana mungkin orang bisa menapaki ma’rifat, jika hati belumlah bening.”

“O…” Ki Donoboyo mengangguk, “…pantas saya belumlah sampai pada tahapan ma’rifat. Jiwa saya terkadang terusik keadaan dan situasi, yang menurut penilaian saya jelek. Padahal jelek itu bukan menurut pribadi, juga berdasarkan aturan agama yang saya anut.”

“Menurunkan penilaian jelek pada orang lain, karena jiwa kita sedang disisipi perasaan merasa paling benar.” ujar Syekh Siti Jenar, “Karena kita sedang merasa paling benar, akan selalu menganggap orang lain salah. Selalu saja ingin mencela, mencercerca, memaki, dan melontarkan ejekan. Padahal kebenaran yang ada dalam diri manusia bersipat nisbi. Kebenaran mutlak hanyalah milik Allah. Seandainya kita selalu menganggap diri paling benar, maka akan lupa introspeksi diri, meski prilaku kita sudah jelas sangat salah menurut banyak orang.”

“Ya,” Ki Donoboyo mengangguk, begitu juga yang lainnya, “Justru yang sulit itu mengintrospeksi diri, Syekh?”

“Benar, sehingga hal itu jika diperturutkan akan membunuh kehormatan sendiri. Kita akan dibuatnya tidak berdaya. Karena merasa selalu benar, saat orang lain meluruskan dan mengingatkan sangat sulit diterima. Perlahan orang akan menjauh. Jika dia berkuasa dan memiliki pengaruh maka akan digunjingnya dibelakang, jadi bahan obrolan.”

“Itulah para pejabat negeri Demak Bintoro….”

“Sssssssttttttt, ingat Ki Chantulo?” Syekh Siti Jenar menempelkan telunjuk dibirnya, “Bukankah andika ingin mencapai ma’rifat?”

“Maafkan, Syekh.” Ki Chantulo merunduk, “Mengapa saya sulit menahan dan mengendalikan jiwa yang bergolak. Ketika tidak setuju dan benci akan penyimpangan, terutama dari…..”

“Sudahlah, bukankah tadi saya telah mengurainya?”

“Jika andika berupaya, insya Allah akan sampai pada tujuan.” terang Syekh Siti Jenar. “Sampurasun…” terdengar suara dari kaki bukit, menggema.
“Syekh, rupanya kita kedatangan tamu yang memiliki tenaga dalam hebat.” ujar Ki Donoboyo.

“Tahukah andika siapa yang datang?” tanya Syekh Siti Jenar.

“Belum terlihat, sama sekali tidak tahu.” jawab Ki Donoboyo, meninggikan kakinya, matanya tertuju ke arah jalan yang akan dilewati tamu.

“Tidaklah perlu meninggikan kaki, apalagi menajamkan penglihatan…” “Siapakah dia, Syekh?” tanya Ki Donoboyo, begitu juga yang lainnya. “Mereka utusan dari negeri Demak Bintoro.”
“Artinya mereka akan menangkapi kita?” Ki Chantulo menepi.

Belum juga Ki Chantulo meneruskan perkataannya, utusan Demak Bintoro telah terlihat menaiki anak tangga padepokan Syekh Siti Jenar. Paling Depan Pangeran Bayat berdampingan dengan Sunan Kudus, diikuti Pangeran Modang, Sunan Muria dan yang lainnya.

“Selamat datang para petinggi Demak Bintoro dan para Wali Agung di padepokan saya, Desa Khendarsawa.” Syekh Siti Jenar dengan senyum ramah menyambut para tamunya, “Maafkan seandainya andika dipaksa harus turun dari punggung kuda dan berjalan menaiki anak tangga padepokan yang tidak sedikit. Mungkin langkah andika tersita dan melelahkan?”

“Alhamdulillah, Syekh.” ujar Sunan Kudus, “Meski pun kami dipaksa harus berjalan kaki bukanlah soal. Karena sesulit apa pun menuju padepokan ini akan kami lakukan, yang jelas bisa menemui andika.”

“Bukankah setelah kesulitan ada kemudahan? Mungkin saja bagi andika semua belumlah bisa bertemu kemudahan dengan segera. Bisa jadi kesulitan yang berikutnya….”

“Apa maksud andika, Syekh?” Pangeran Modang geram, lalu mendekat dengan sorot mata beringas, “Hargailah, kami ini utusan Agung dari Kasultanan Demak Bintoro!”

“Apakah sikap saya tidak ramah? Bukankah dari tadi sudah mempersilahkan? Butakah Pangeran pada tujuan sesungguhnya bertemu kami di padepokan? Sehingga membentak saya yang berkata seadanya?” Syekh Siti Jenar tetap tenang, selalu tersungging senyuman tipis dari bibirnya, serta air mukanya yang memancarkan cahaya.

“Perkataan andika tadi, Syekh!” Pangeran Modang semakin beringas, tangan kanannya menggenggam gagang keris.

“Pangeran, tenanglah!” sela Sunan Kudus, “Izinkanlah saya dulu beramah‐tamah dengan Syekh Siti Jenar.” tatapan matanya menyapu wajah Pangeran Modang yang geram.

“Maaf, Kanjeng.” Pangeran Modang mundur, kembali pada tempatnya. “Habis penghuni padepokan ini tidak tahu ramah tamah. Bagaimana menyambut tamu terhormat, kami ini para pejabat.” gerutunya.

“Dimas Modang, sudahlah!” lirik Pangeran Bayat.

“Baiklah, Kakang.” lalu menundukan kepala, setelah beradu tatap dengan Pangeran Bayat dengan sorot mata tajam.

Keadaan hening sejenak, tidak ada percakapan dalam beberapa saat. Angin kencang dan mega yang tadinya bergulung‐gulung telah kembali tenang. Matahari sore yang tampak terhalang mega tipis mulai bisa menatap padepokan milik Syekh Siti Jenar, seakan‐akan ingin menyaksikan sebuah peristiwa yang akan terjadi.

Share this: