Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat page 39

Sehingga dengan berani matahari mengusir penghalang dari pandangannya, untuk menyaksikan kejadian penting di Desa Khendarsawa.

Mulailah Sunan Kudus beramah‐tamah setelah terganggu dan terusik bentakan Pangeran Modang. Meski Pangeran Bayat dan yang lainnya tampak tegang, seperti halnya Ki Chantulo dan Ki Donoboyo, sangat berbeda dengan Syekh Siti Jenar, yang selalu tenang dan menebar senyum.

Para murid Syekh Siti Jenar berdatangan dan berada dibelakang Kebo Kenongo, mereka menilai dan memperhatikan pertemuan itu dengan tahapan ilmu yang berbeda. Tentu saja dalam mencerna dan memahaminya pun akan beragam.

“Syekh, saya mendengar kabar jika andika dan pengikut telah menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan.” tatap Sunan Kudus.

“Ajaran sesat dan menyesatkan?” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Sunan Kudus dan para pengikutnya dengan sorot mata tenang, “Jika seandainya telah melakukan hal tadi, artinya saya telah keluar dari ajaran Islam yang sesungguhnya.”

“Nah, itulah, Syekh.” ujar Sunan Kudus, “Alangkah lebih baiknya andika bertobat dan kembali pada jalan lurus. Ajaran Islam yang sesungguhnya, tidak lagi mengajarkan kesesatan. Mumpung masih diberi sisa umur oleh Allah SWT….”

“Tapi meskipun andika telah menyadari bahwa itu ajaran sesat, tetap saja proses hukum harus dilalui!” sela Pangeran Modang. “Meskipun andika sudah punya niat untuk bertobat…”

“Bicara apa andika, Pangeran?” tatap Syekh Siti Jenar.

“E..eeh..” Pangeran Modang melangkah, “Syekh, andika selalu saja membantah dan melawan pada pejabat negara! Yang saya katakan aturan hukum dan negara!” geramnya seraya menghunus keris dan mendekat.

“Kenapa andika tidak bisa tenang, Pangeran?” Syekh Siti Jenar mengangkat tangannya ke atas, “Maafkan, Kanjeng Sunan. Juga Pangeran Bayat haruskah saya mendiamkannya?”

“Keparat! Memang andika ini apa?” Pangeran Modang menorehkan keris ke dada Syekh Siti Jenar, yang diserangnya tidak menghindar meski sejengkal tanah.

“Diamlah andika!” ujar Syekh Siti Jenar.

Langkah Pangeran Modang terhenti, berdiri sambil mengayunkan keris dihadapan Syekh Siti Jenar, bergeming laksana patung. Meski seribu kali geram, namun tubuh tidak lagi memiliki daya dan upaya untuk bergerak.

“Kanjeng Sunan Kudus?” bisik Pangeran Bayat, “Apa yang dilakukannya terhadap Dimas Modang?”

“Jangan khawatir, Pangeran.” lirik Sunan Kudus, “Mungkin agar perbincangan saya tidak terusik dengan tindakan Pangeran Modang, yang sebenarnya membahayakan dirinya sendiri.”

“Ya, saya paham, Kanjeng.” Pangeran Bayat menganggukan kepala. “Kabar, Kanjeng Sunan Kudus?” tatap Syekh Siti Jenar.

“Ya, Syekh.”

“Bukankah kabar itu sesuatu yang belum pasti?”

“Hari inilah saya datang ke padepokan andika untuk membuktikan kabar tadi.”

“Bahwa saya telah mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan?” Syekh Siti Jenar perlahan mengangkat wajahnya ke langit, lalu kembali menatap Sunan Kudus.

“Bukankah andika tadi sudah menyadari, Syekh?” tatap Sunan Kudus, “Jika andika menyebarkan kesesatan artinya telah keluar dari ajaran Islam yang sesungguhnya….”

“Benar, Kanjeng.” tampak tersenyum, “Seandainya saya melakukan kesesatan dan menyebarluaskannya. Artinya saya telah murtad, kafir, mungkin juga musyrik. Tetapi benarkah tuduhan itu? Bahwa saya telah sesat dan menyesatkan dengan ajaran yang saya sebarkan. Bukankah saya menyebarkan ajaran Islam? Meskipun kita hanya memiliki satu ayat menurut Kanjeng Nabi, maka sampaikanlah. Tidak bolehkah menyampaikan sesuatu tentang ajaran Islam yang saya anggap benar dan harus disebarluaskan?”

“Memang itu tidak salah! Sudah seharusnya karena mengajarkan dan menyebarluaskan agama merupakan kewajiban kita sebagai umatnya.” Sunan Kudus berhati‐hati, “Tetapi andika sudah dianggap melenceng, bahkan sesat.”

“Mengapa saya dianggap melenceng dan sesat? Karena saya bukan seorang wali seperti andika? Mungkinkah karena saya hanya seorang rakyat jelata?”

“Tidak,”

“Lantas?”

“Ya, ajaran itulah yang mengkhawatirkan? Jika andika terus menyebarkan ajaran sesat saya khawatir rakyat yang menerimanya keluar dari esensi Islam yang sesungguhnya.”

“Andika dari tadi menuduh saya telah menyebarkan kesesatan, Kanjeng.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Sunan Kudus dengan tatapannya. “Dimanakah letak kesesatan ajaran Islam yang saya sebarkan?”

“Baiklah,” Sunan Kudus berhenti sejenak, lalu mengerutkan keningnya. Seakan‐akan ada sesuatu yang sedang dicerna dalam pemikirannya. “Andika tidak mengajarkan syariat Islam?”

“Syariat Islam?”

“Andika tidak mewajibkan salat lima waktu, puasa pada bulan Ramadhan….seakan‐akan rukun Islam tiada…” “Tidak,”
“Mengapa? Bukankah itu hukumnya wajib?” “Tentu saja.”
“Disitulah salah satu kesesatan yang andika ajarkan, Syekh!”

“Kanjeng Sunan, mengapa hal tadi merupakan salah satu kesesatan yang saya ajarkan?”

Share this: