Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat page 37

“Apa yang akan terjadi?” Ki Ageng Tingkir mengerutkan keningnya, “Angin puting beliungkah, Syekh?” matanya tertuju pada Syekh Siti Jenar yang berdiri di samping Kebo Kenongo.

“Pernahkah kita merusak alam? Menebang pohon sembarangan, membabad batu padas seenaknya?” tatap Syekh Siti Jenar.

“Tidak,”

“Bahkan sebaliknya kita memakmurkan bumi, Syekh?” tatap Ki Donoboyo, “Sesuai dengan ajaran hamamayu hayuning bawanna…”

“Jika demikian kita tidak perlu takut dimurkai alam…” Syekh Siti Jenar tersenyum, “Puting beliung biasanya menghancurleburkan rumah, dan bangunan. Mungkin saja padepokan yang kita diami….”

“Saya kurang paham?” tanya Ki Chantulo, “Apa kaitannya dengan memakmurkan bumi?” “Bukankah beberapa waktu lalu saya pernah menjelaskan hamamayu hayuning bawana?”
“Yang kita bicarakan pada waktu itu pertautan jiwa dengan alam, Syekh.” kerut Ki Chantulo, “Sabda alam. Tetapi tadi Syekh mengatakan mungkin saja puting beliung bisa menghancurkan padepokan kita? Mengapa?”

“Mungkin disini, bukan berarti akan terjadi, atau tidak sama sekali, bahkan bisa saja terjadi.” ujar Syekh Siti Jenar, “Namun mungkin disini saya tegaskan, kemarahan alam sedahsyat apa pun tidak akan pernah menyentuh padepokan kita.”

“Termasuk puting beliung?” tanya Ki Chantulo. “Meskipun rumah penduduk disekitar Desa Khendarsawa porak‐ poranda?”

“Benar, justru akan saya usahakan agar enyah dari Desa Khendarsawa.” “Mengapa, Syekh?”
“Bukankah saya sedang menjelaskan hal yang terkait dengan ilmu hamamayu hayuning bawana….”

“….” Ki Chantulo dan yang lainnya hanya mengerutkan kening, “Rasanya saya belum paham…”

“Memakmurkan bumi?” Kebo Kenongo berujar pelan, “Saya kira bencana akan datang jika bumi dirusak. Penduduk Desa Khendarsawa akan kekeringan dan kekurangan air pada musim panas, seandainya pohon‐pohon besar yang berada disekitar hutannya ditebang habis. Mungkin saja akan terjadi longsor, bahkan bencana lainnya.” lalu menatap gurunya.

“Ya, itu sebuah contoh kecil.” ujar Syekh Siti Jenar, “Seandainya kita telah mengamalkan ilmu hamamayu hayuning bawanna, memakmurkan bumi. Tidak akan pernah kita dimurkai alam atau hidup dalam kesusahan.”

“Maksudnya?” Ki Donoboyo mengerutkan dahinya.

“Alam sebenarnya akan memberikan imbalan pada kita. Seandainya kita ikut memakmurkan dan memeliharanya…” Syekh Siti Jenar perlahan melangkah, “Lihatlah pohon jambu batu yang di tanam Ki Chantulo itu. Bukankah Ki Chantulo memelihara jambu ini sejak kecil, menanamnya, merawatnya, hingga menghasilkan buah?”

“Ya, saya baru mengerti, Syekh.” Ki Chantulo mengagguk‐anggukan kepala, “Benar, sekali dengan perawatan dan pemeliharaan saya hingga jambu ini memberikan imbalan pada saya berupa makanan, buah jambu. Saya bisa menikmatinya dan memakannya, saya baru ingat ketika jambu ini berupa bibit. Ya, mengerti.”

“Itu salah satu contoh, dimana kita memakmurkan alam…maka alam akan memberi imbalan. Lihatlah para petani dengan jerihpayah menamam padi, lihat pula para petani membuat pematang sawah, menciptakan saluran air dengan teratur, dan memeliharanya. Sebaliknya rusaklah pohon jambu tadi, tebas dan biarkan merana, biarkan pula padi disawah tidak harus dirawat dan diberi pupuk, biarkan pula saluran air dipenuhi sampah. Apa yang akan terjadi? Memeliharakah pada kita? Murkakah mereka?”

“Tentu saja murka, Syekh. Saya paham,” Ki Chantulo mengagguk‐anggukan kepala. “Namun selain itu, tadi Syekh bisa mengenyahkan angin puting beliung agar enyah dari Khendarswa?”

“Bukankah andika pernah mendengar Kanjeng Nabi Musa membelah lautan. Lantas menjinakkan air laut, sehingga dengan sebilah tongkat kayunya bisa menyebrangi lautan yang terbelah. Lantas Kanjeng Nabi Sulaiman menundukan angin kencang?”

“Bukankah itu mukjijat, Syekh?” tatap Ki Chantulo.

“Ya, tetapi manusia semacam kita apakah tidak berhak mendapatkannya seandainya Allah menghendaki. Hanya namanya saja bukan mukjijat.”

“Tentu saja,”

“Bersandarlah kita pada ke Maha Besaran, ke Maha Gagahan, ke Maha Kuasaannya, ke Maha Perkasaannya….agar hal itu bisa terjadi.”

“Bukankah mukjijat tidak bisa kita pelajari?”

“Saya tidak mengajarkan untuk mempelajari mukjijat, karena bukan sunnah rassul. Tidak ada perintah untuk mempelajarinya, karena bukan untuk dipelajari. Mukjijat hanya pertolongan Allah semata untuk para Nabi dan Rassul. Mungkin bagi manusia semacam kita ada nama lain, ulama terkadang menyebutnya Kharamah?”

“Mengapa bisa muncul Kharamah?”

“Ya, karena kita telah aqrab. Juga telah berada dalam tahapan ma’rifat.” “Jika tidak sampai pada tahapan tadi? Masih mungkinkah, Syekh?”
“Tentu, asalkan hati kita ikhlas dan berada dalam kasih sayangNya. Meskipun orang tadi tidak sepintar Ki Chantulo. Membaca basmallah pun tidak terlalu lancar, tetapi karena hatinya bening, bisa terjadi pertolongan Allah datang tanpa diduga. Sebab hancurnya setiap amalan dan hasil ibadah kita akibat tercemarinya hati.” urai Syekh Siti Jenar.

“Maksudnya?” tanya Ki Donoboyo.

“Bukankah ketika kita telah berbuat baik, menjadi sebuah catatan amal. Lalu catatan amal tadi bisa tercoreng karena dalam hati timbul ria dan ta’kabur?” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Bukankah dalam hadistnya Kanjeng Nabi menjelaskan, pada suatu ketika Islam itu hanya tinggal namanya, Alquran tinggal tulisannya……..”

Share this: