“Benar Raden, seakan‐akan persoalan perutlah yang terpenting dalam kehidupan ini.” Sunan Giri tersenyum, “Jarang sekali orang melakukan penyelidikan lebih mendalam.”
“Maksud, Kanjeng?”
“Mengapa orang miskin bunuh diri, mengapa yang kelaparan nekad?” Sunan Giri berhenti sejenak, tatapan matanya menyapu wajah Raden Patah, terkadang Pangeran Bayat.
“Karena hanya jalan itulah yang dianggap penyelesaian, Kanjeng.” ujar Pangeran Bayat, “Bayangkan seandainya mereka kenyang dan serba berkecukupan. Tidak akan mungkin berbuat demikian.”
“Orang miskin merampok hanya butuh makan untuk satu hari, Pangeran. Sedangkan yang kaya disebabkan sifat serakah.” tukas Sunan Drajat, “Bukankah hartanya sudah melimpah ruah, tetapi masih saja ingin menumpuk kekayaan. Menghalalkan segala cara.”
“Ya, saya mengerti, Kanjeng.” Raden Patah tersenyum, “Terlepas dari urusan miskin dan kaya, yang jelas penyelesaian dari sebuah perbuatan buruk tadi. Mereka hanya menyantap makanan jasmani, sedangkan rohaninya kosong.”
“Terkait dengan hal itulah kami para wali ingin berbincang.” ujar Sunan Giri, “Bukankah para sahabat nabi juga menafkahkan seluruh hartanya demi agama. Lihatlah khalifah Umar bin Khatab, jubah dan pakaiannya penuh dengan tambalan. Meski secara lahiryah terlihat miskin namun hatinya sangat kaya, jiwanya tersisi penuh. Tidak pernah berkhianat, selalu bertaqwa pada Allah.”
“Benar, Kanjeng.”
“Kemiskinan dan kelaparan yang melanda negeri Demak Bintoro dimanfaatkan pengikut ajaran Syekh Siti Jenar, untuk menyimpang dari agama. Sehingga memicu persoalan baru.” Sunan Giri menghela napas, “Banyak rakyat miskin dan kelaparan bunuh diri, keadaan dibuat kalangkabut dan kacau balau. Selain aqidah mereka masih lemah, pengaruh ajaran sesat dan menyesatkan semakin kuat. Sehingga mereka dengan ajarannya telah mencoba menodai perjuangan para wali.”
“Gusti, menurut hemat hamba. Tersebarnya ajaran sesat Syekh Siti Jenar terkait pula dengan persoalan politik.” timpal Pangeran Bayat, “Bukankah Ki Ageng Pengging selain murid, juga sangat dekat dengan Syekh Siti Jenar, disamping masih keturunan Majapahit. Mungkin dia punya anggapan memiliki hak yang sama untuk meraih tahta.”
“Tidakkah sebaiknya persoalan politik dipisahkan dulu…”
“Maaf Kanjeng Sunan Kalijaga, rasanya ini telah sulit untuk dipilah. Ditebarnya kekacauan dengan isu agama, sangat sarat dengan muatan politik.”
“Dimas Bayat, untuk menjernihkan persoalan ini saya sependapat dengan Kanjeng Sunan Kalijaga.” tatap Raden Patah, “Tetapi seandainya belum atau tidak pernah terjadi pemberontakan di Kademangan Bintoro?”
“Bukankah dugaan saya telah terjadi, Gusti?”
“Dalam hal ini tetap harus ada keputusan, Raden, terkait dengan ajaran sesat Syekh Siti Jenar.” ujar Sunan Giri, “Pemerintah harus segera mengambil tindakan. Sebelum pengaruh ajaran sesat ini semakin meluas….”
“Keputusan?” Raden Patah menundukan kepala, pikirannya berputar, sejenak mulutnya terkatup. “Haruskah saya seret Syekh Siti Jenar dan pengikutnya ke hadapan, Gusti?” ujar Pangeran Bayat.
“Mudah saja menyeret orang, Pangeran.” timpal Sunan Kalijaga, “Apakah tidak alangkah lebih baiknya mengutus orang dulu ke padepokan Syekh Siti Jenar di Desa Kendharsawa?”
“Untuk apa, Kanjeng?” tanya Sunan Giri.
“Membenarkan apa yang kita tuduhkan pada mereka.” jawab Sunan Kalijaga.
“Bukankah sudah terbukti? Jika Syekh Siti Jenar mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran sesat dan menyesatkan?”
“Maaf, Kanjeng Sunan Giri. Saya setuju dengan pendapat Kanjeng Sunan Kalijaga.” Raden Patah perlahan bangkit, “Dimas Bayat dan Pangeran Modang, saya utus untuk menemui Syekh Siti Jenar. Itu dari pihak pemerintah, Kanjeng. Alangkah lebih baiknya Kanjeng Sunan Giri pun mengutus beberapa orang wali. Saya yakin dengan hadirnya para wali dalam rombongan akan sanggup menilai sesat atau tidaknya ajaran Syekh Siti Jenar.”
“Baiklah, Raden. Jika itu harus dilakukan.” tatapan mata Sunan Giri menyapu para wali yang duduk dibelakangnya, “Saya akan mengutus Kanjeng Sunan Kudus, Kanjeng Sunan Muria, Kanjeng Sunan Drajat, dan Kanjeng Sunan Geseng.”
“Gusti, tindakan apa yang harus dilakukan seandainya dugaan tadi benar?” tanya Pangeran Bayat. “Kanjeng Sunan Giri?” Raden Patah melirik ke arah Sunan Giri.
“Hukuman yang pantas dan setimpal bagi penyebar ajaran sesat. Bentuknya hanya raja yang berhak menentukan.” ujar Sunan Giri.
“Baiklah,” Raden Patah mengerutkan keningnya.
“Hamba kira hukuman mati sangat pantas….” timpal Pangeran Bayat.
“Hukuman apa pun layak diberikan pada orang yang bersalah, sesuai dengan kadar kesalahannya.” sela Sunan Kalijaga, “Saya kira belumlah saatnya kali ini untuk membahas dan memutuskan sebuah bentuk hukuman, sebelum ada kejelasan serta pembuktian.”
“Ya, Kanjeng.” Raden Patah menganggukan kepala, “Datangilah dulu! Jika terbukti bawa ke Pusat Kota Demak Bintoro. Barulah kita menjatuhkan hukuman.” lalu menatap pada para utusan yang ditugaskan ke Desa Khendarsawa.
Sore itu matahari tertutup mega hitam, berlapis‐lapis. Seakan‐akan tatapan matanya yang bersinar sengaja dihalangi untuk menatap padepokan Syekh Siti Jenar. Angin bertiup sangat kencang, mega pekat membumbung dan berputar‐putar, semakin cepat.
“Lihat, pertanda alam?” Ki Donoboyo yang berada di halaman padepokan bangkit dari duduknya, kepalanya mendongak ke atas.