“Terimakasih atas sambutannya, Raden.” Sunan Giri lalu duduk di atas kursi yang telah disediakan. Diikuti para wali lain menempati kursi yang telah disediakan.
“Rasanya sangat bahagia hati ini, batin pun terasa tentram jika sudah bertemu dengan para wali yang terhormat.” Raden Patah perlahan duduk kembali di atas singgasana kerajaannya, para abdi pun mengikuti. “Sudah sekian lama Kanjeng Sunan tidak menyempatkan diri memasuki istana yang megah ini.”
“Tidaklah harus terlena dengan kemegahan istana, Raden.” ujar Sunan Giri tersenyum tipis, “Singgasana berlapis emas, serta empuk, terkadang menyebabkan kita untuk bermalas‐malas. Saking nikmatnya kita dalam sehat dan istirahat, terkadang lupa pada tugas yang sesungguhnya. Bukankah kita mendapatkan kepercayaan dari rakyat demi kesejahteraannya, demi ketentramannya, demi ketenangannya, demi melayaninya?”
“Alhamdulillah, Kanjeng.” Raden Patah sekilas menyapu wajah Sunan Giri dengan tatapan matanya, “Saya sudah berupaya menjalankannya sesuai dengan amanah dan ajaran Islam. Namun saya sebagai manusia terkadang terlena dibuatnya…..”
“Jika Raden terlena dengan kekuasaan dan kemegahan, hendaklah istigfar.” Sunan Giri mengacungkan telunjuknya, “Karena singgasana ini tidak abadi, kekuasaan akan berakhir dengan ketidakuasaan, kenikmatan dan kemewahan hanya bisa dikecap dalam sekejap. Semua itu diingatkan ketika diri kita tidak sempat untuk istirahat dan menikmati, bahkan saat sakit mengusik kita. Disitu tidak ada nikmat yang bisa dirasakan meski sekejap. Itu semua mengingatkan pada diri kita, semua yang kita miliki akan ditinggalkan, semua yang kita kuasai pada suatu saat akan menjauh. Bukankah kehidupan di dunia ini telah ditentukan batasnya? Seindah apa pun dunia tetaplah fana, semegah apa pun dunia akan berkesudahan. Tidak ada bedanya saat kita merasakan lapar bergegas mencari makanan, setelah rasa lapar tergantikan dengan kekenyaang nikmat pun tidak ada lagi.”
“Jika perut sudah terlalu kenyang tidak mungkin meneruskan makan, meski masih terhidang beraneka kelezatan di atas meja.” Raden Patah mengangguk‐anggukan kepala, “Hanya sekejap….dan ada akhirnya…bukankah datangnya rasa nikmat ketika kita merasakan lapar?”
“Andai lapar itu berada pada tahapan Raden. Tentu akan terobati, tinggal memanggil pelayan kerajaan. Tetapi jika rasa lapar menimpa rakyat miskin, bisakah terobati dalam sekejap?” tatap Sunan Giri.
“Ya, saya paham, Kanjeng.” Raden Patah menundukan kepalanya, “Dimas Bayat, masihkah di negeri ini ada rakyat yang kelaparan?” lalu tatapan matanya tertuju pada Pangeran Bayat.
“Menurut hamba negeri ini sangatlah makmur, Gusti.” Pangeran Bayat mengacungkan sembahnya, “Sangat tidak mungkin di negeri semakmur Demak Bintoro ada rakyat yang kelaparan?”
“Benarkah, Dimas?” “Hamba yakin, Gusti.”
“Baguslah jika tidak ada yang kelaparan,” Raden Patah menundukan kepala dihadapan Sunan Giri.
“Seandainya masih ada rakyat yang miskin dan kelaparan? Sementara kita serba berkecukupan? Tidakah di akhirat nanti akan menuai kecaman dari Allah SWT.? Mungkin rakyat negeri Demak Bintoro, meski pun lapar tidak akan banyak berbuat selain mengganjal perutnya dengan kesedihan, bisa juga menangis?” desak Sunan Giri.
“Maafkan saya, Kanjeng.” Raden Patah perlahan mengangkat kepalanya, “Jika itu terjadi dan menimpa rakyat negeri Demak Bintoro, mungkin saya sebagai pemimpin akan menerima hukumannya di akhirat. Mudah‐mudahan yang dilaporkan Dimas Bayat benar. Hal itu tidak terjadi di negeri ini….”
“Yakinkah, Raden?”
“Saya percaya pada Dimas Bayat, Kanjeng Sunan.”
“Hamba melaporkan dengan sesungguhnya. Berdasarkan pendengaran dan penglihatan hamba.” ujar Pangeran Bayat.
“Baguslah jika yakin sebatas laporan, Raden.” Sunan Giri perlahan bangkit dari duduknya, lalu mengitari singgasana Raden Patah. “Tahukah Raden tujuan utama kedatangan kami, dewan wali ke istana ini?”
“Tentu saja, Kanjeng.” Raden Patah perlahan memicingkan sudut matanya, menatap langkah kaki Sunan Giri. “Bukankah di negeri ini telah muncul persoalan yang terkait dengan Syekh Siti Jenar dan pengikutnya, Kanjeng?”
“Benar,” Sunan Giri menghentikan langkahnya, lalu kembali duduk di atas kursinya. “Ada kabar jika Syekh Siti Jenar menyebarkan ajaran sesat. Pengikutnya terutama rakyat miskin dan kelaparan banyak yang mengakhiri hidupnya.”
“Mereka bunuh diri, Kanjeng?” ujar Raden Patah, “Mereka mengaggap bahwa mati lebih nikmat dari pada hidup dalam kemiskinan. Syekh Siti Jenar pada pengikutnya menghembuskan ajaran hidup untuk mati, mati untuk hidup.”
“Pisahkan dulu persoalan mati untuk hidup, hidup untuk mati, tentang ajaran Syekh Siti Jenar!” “Kenapa, Kanjeng?”
“Lihat dan perhatikan, jika yang bunuh diri itu si miskin dan menderita…”
“Mengapa harus dipisahkan persoalan ini? Rakyat Demak Bintoro yang miskin tentu saja mudah dihasut akhirnya nekat bunuh diri. Apalagi mendengar ajaran yang menyesatkan ini.”
“Persoalannya karena miskin, Raden. Bukankah tadi dikatakan, jika di negeri makmur ini sudah tidak ada lagi yang miskin dan kelaparan?”
“Astagfirullah!” Raden Patah lalu mengusapkan kedua telapak tangannya pada wajah, “Ya, Allah maafkan hambamu ini. Hamba telah berbuat hilap….” dari sela‐sela jemarinya menetes buliran air mata, semakin lama semakin banyak.
Suasana istana yang hening terusik dengan isak tangisnya Raden Patah, seakan‐akan mengubah dan memecah suasana. Pangeran Bayat semakin menundukan kepalanya, dagunya seakan‐akan menyentuh lutut, hatinya mulai ketar‐ketir, jika seandainya Raden Patah marah.