Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat page 32

“Kanjeng, jika demikian saya mohon pamit.” ujar Demang Bintoro. “Karena tugas saya sudah selesai, sedangkan persidangan merupakan wewenang para wali dan pemerintah.”

“Baiklah, Ki Demang.” Sunan Giri menerima kedua telapak tangan Demang Bintoro yang mengajak bersalaman. “Semoga kalian selamat diperjalanan. Persoalan tadi akan kami tindaklanjuti, agar tidak terlanjur dan terlunta‐ lunta hingga mengakibatkan kesesatan bagi umat.”

Matahari mulai merayap, perlahan meredup seakan‐akan terlihat lelah dan ngantuk. Seharian memelototi bumi beserta isinya, menatap setiap tingkah dan laku manusia yang beragam. Matahari sudah waktunya kembali dan beristirahat di peraduannya, seiring dengan datangnya gelap malam.

Namun penghuni jagat raya seakan tidak peduli meski matahari tidak lagi memelototi dan menerangi, biar kerlip gemintang sebagai pengganti, saksi mereka bertingkahlaku. Malam hanya perpindahan dari terang pada gelap, dari benderang pada kremangan. Hingga tidak pernah menghalangi dan menyurutkan niat dan langkah manusia dengan segenap tekad dan keinginannya untuk berbuat.

Pinggir hutan di halaman pendopo milik Kebo Benowo dan pengikutnya, berkelebatan bayangan tubuh yang sedang berlatih silat. Joyo Dento dan Kebo Benongo bergantian mengajarkan setiap jurus dan strategi perang.

Tidak lama berselang terdengar suara kuda yang bergerak ke arah mereka. Dua ekor kuda yang ditunggangi Kebo Benowo dan Loro Gembol telah berada di tengah‐tengah pengikutnya.

“Ki Gempol,” ujar Joyo Dento mendekat, “Terlihat segar malam ini….”

“Benar, Dento.” Loro Gempol turun dari punggung kuda, “Syekh Siti Jenar benar‐benar hebat. Hanya dengan tatapan mata beliau menyembuhkan luka dalam akibat tendangan Ki Sakawarki.”

“Hebat!” Joyo Dento menggelengkan kepala. “Artinya Ki Gempol sudah siap memimpin kembali pemberontakan?”

“Tentu saja, Dento.” Loro Gempol menepuk‐nepuk dadanya, “Bahkan ilmuku sudah mulai bertambah meski dalam waktu sangat singkat. Saya sudah memiliki tendangan yang lebih hebat dari Ki Sakawarki.” lalu memutar lehernya mengikuti sudut pandangnya yang tertuju pada sebongkah batu.

“Seperti apa tendangan itu, Ki?” tanya Kebo Benongo.

“Lihatlah! Saya akan menghancurkan batu sebesar perut kerbau itu hanya dengan satu kali tendangan.” Loro Gempol lalu mengambil ancang‐ancang, seraya loncat dan mengarahkan tendangannya pada batu.

Dragkkkk….tendangan kaki Loro Gempol menghantam sasaran, tidak pelak lagi hancur lebur berkeping‐keping. Prilakunya disambut dengan tepukan pasukan gelap sewu, serta Joyo Dento dan Kebo Benongo.

“Bisa seperti itu Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu kanuragan, Ki Gempol?” Joyo Dento mengerutkan keningnya. “Bukankah dia orang sakti, Dento?” Loro Gempol tersenyum.
“Sayang, Ki Gempol?” “Kenapa, Dento?”

“Seandainya beliau bersedia mendukung perjuangan kita dengan kesaktiannya, sudah barang tentu sangat mudahlah menghancurkan Kademangan Bintoro.” ujar Joyo Dento, seraya duduk di atas bangku yang terbuat dari kayu. “Sungguh sayang, begitu juga Ki Ageng Pengging, sangatlah sulit untuk diajak serta.”

“Jangankan Kademangan, Demak pun jika beliau mau tentu bisa dihancur leburkan!” timpal Loro Gempol.

“Sangat aneh?” Joyo Dento menggelengkan kepala, “Semakin tinggi ilmunya, semakin digjaya kesaktiannya, malah semakin tidak tertarik pada kekuasaan?” lalu menghela napas dalam‐dalam.

“Itulah keanehan mereka, Dento.” Kebo Benowo ikut nimbrung, “Bukankah menurut andika tidak perlu lagi memikirkan mereka yang sudah tidak memiliki keinginan untuk berkuasa.”

“Ya, lupakan saja semuanya!” Joyo Dento bangkit dari duduknya, “Sebaiknya kita tidak terpengaruh….”

“Bagus,” ujar Loro Gempol, “Sekarang kesaktian saya telah bertambah. Mengapa tidak digunakan untuk kembali mengadakan penyerangan terhadap Kademangan Bintoro?”

“Haruskah malam ini?” tanya Kebo Benongo. “Tidakah merasa lelah sepulang dari padepokan?” “Tidak!”
“Gempol, bukannya saya tidak percaya pada tendangan maut yang baru saja andika miliki.” Kebo Benowo mendekat, “Cukupkah jumlah prajurit kita untuk menggempur Kademangan Bintoro?”

“Benar!” Joyo Dento meletakan kedua tangannya di belakang, “Meski pun Ki Gempol bisa mengalahkan Ki Sakawarki, tidak ada salahnya kmemperhitungkan jumlah kekuatan yang kita miliki. Sebenarnya ada taktik perang gelap…”

“Maksud andika?” Loro Gempol menatap tajam.

“Harus menghindari perang terbuka. Mengingat jumlah pasukan kita lebih sedikit di banding musuh.” dahinya dikerutkan, “Serangan kita harus bersifat memecah konsentrasi musuh, lantas menyerang, lalu menghilang.” terang Joyo Dento.

“Berhasilkah dengan cara demikian?” tanya Kebo Benowo, “Tidak lebih baikah jika kita menambah jumlah pasukan?”

“Bisa saja, menambah pasukan. Artinya untuk sementara kita menghentikan penyerangan….” “Jadi saya tidak bisa mencoba ilmu baru dalam waktu dekat?” Loro Gempol garuk‐garuk kepala.

Dewan wali yang di pimpin Sunan Giri mulai memasuki istana kerajaan Demak Bintoro. Mereka menginjakan kakinya di atas karpet berwarna hijau, kiriman dari Bagdad. Di setiap sudut istana berdiri para prajurit dengan tombak dan tameng di tangannya.

Raden Patah sudah berada di atas singgasananya, perlahan bangkit menyambut kedatangan para wali. Pangeran Bayat, serta para abdi kerajaan lainnya berdiri, menyalami.

Hari itu tampaknya ada pertemuan penting antara Raden Patah dan Walisongo.

Share this: