Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat page 31

“Mereka akan menciptakan dulu keresahan dikalangan umat beragama, Ki Demang. Dalam keadaan umat resah dan bingung, politik untuk melakukan makar pun berjalan.” terang Pangeran Bayat.

“Itulah yang terjadi di Kademangan Bintoro, Gusti Pangeran.” Demang Bintoro menganggukan kepala, “Pantas mereka mempengaruhi rakyat kademangan dengan ajaran yang menyesatkan, hingga pada suatu malam terjadi penyerbuan. Namun yang paling aneh, ketika salah satu diantara mereka tertangkap, membenturkan kepalanya pada batu hingga tewas.”

“Itulah yang mereka anggap jihad!” ujar Pangeran Bayat, “Tentu saja mereka akan memilih mati ketimbang tertangkap, karena mati telah memenuhi panggilan jihad.” berusaha menyimpulkan.

“Pantas saja?” Demang Bintoro menggeleng‐gelengkan kepala.

“Jika demikian kesimpulannya sudahlah jelas persoalan ini, Gusti Pangeran.” Ki Sakawarki penuh hormat, “Syekh Siti Jenar beserta pengikutnya harus ditangkap. Mereka telah berani merusak ajaran Islam yang sesungguhnya. Selain telah berani‐berani mencampurbaurkan kepentingan politik dengan agama. Sehingga agama dijadikan alat politik dan kekuasaan.”

“Itulah yang terjadi Ki Sakawarki, jika boleh saya berksimpulan.” Pangeran Bayat mengaggukan kepala. “Namun sebelum bertindak saya akan meminta dulu pendapat para wali agung tentang batasan sesat yang disebarluaskan Syekh Siti Jenar. Bagaimana menurut pendapat, Kanjeng Sunan?” tatapan mata Pangeran Bayat menyapu wajah para wali, berhenti pada Sunan Giri, selaku ketua Dewan Wali.

“Pengertian sesat?” Sunan Giri memutar tatapannya, “Saya menyimpulkan, jika Syekh Siti Jenar sudah menganggap shalat lima waktu tidak wajib, puasa bulan ramadan tidak wajib. Hidup untuk mati, mati untuk hidup. Jelas sesat! Sudah keluar dari esensi Islam yang sesungguhnya.”

“Tidakah kita menelisiknya terlebih dahulu, Kanjeng Sunan Giri?” Sunan Kalijaga beradu tatap.

“Apa lagi yang mesti kita selidiki, Kanjeng Sunan Kalijaga?” ujar Sunan Giri, “Penyebaran ajaran sesat harus segera dihentikan. Jika tidak maka umat akan resah, kesetabilan negeri Demak Bintoro akan terancam.”

“Tidakkah kita ingin memastikan sekali lagi tentang sesatnya ajaran Syekh Siti Jenar dengan mengutus seorang wali?” tatap Sunan Kalijaga.

“Bukankha Ki Sakawarki saja sudah cukup sebagai seorang Kiai membuktikan kesesatan tadi?”

“Apakah Ki Sakawarki sudah secara langsung mendengar dan melihat jika ajaran Syekh Siti Jenat itu sesat?”

“Maafkan Kanjeng Sunan Kalijaga, saya belum bertemu dengan Syekh Siti Jenar. Namun saya hanya melihat dan mendengar dari para muridnya, ketika beberapa malam lalu melakukan pemberontakan.”

“Bisakah itu dijadikan sebagai bukti?” Sunan Kalijaga memutar tatapannya ke arah Pangeran Bayat dan Sunan Giri.

“Dari Segi politik, yakin tujuan utamanya ingin makar. Bukan semata menyebarkan ajaran sesat, Kanjeng.” Pangeran Bayat mengerutkan dahinya, “Yang memperkuat tuduhan saya dengan adanya nama Kebo Kenongo. Jelas‐jelas dia masih keturunan Majapahit dan memiliki pengaruh sama dengan Gusti Raden Patah. Hanya dia tidak seberuntung junjungan kita.”

“Pangeran, bagaimana jika kita pisahkan dulu masalah politik dan agama?”

“Maaf, Kanjeng. Saya rasa persoalan politik dan agama dalam hal ini sudah menyatu.” tukas Pangeran Bayat. “Saya menduga jika kepentingan politik yang ditebarkan Kebo Kenongo dibungkus rapih dengan agama. Dengan tujuan orang terfokus pada persoalan agama, padahal politis.”

“Makanya saya tadi berpendapat, untuk menjernihkan persoalan ini dan menangkap makna yang sesungguhnya, kita pisahkan dulu…”

“Kanjeng Sunan Kalijaga, sebaiknya perdebatan ini dihentikan. Saya takut di antara para wali terjadi perbedaan paham yang runcing, begitu pula dengan kalangan pemerintah.” potong Sunan Giri. “Selanjutnya kita renungkan sejenak sebelum mengambil keputusan. Bagaimana jika kita memperbincangkannya dengan Raden Patah, semoga dari hasil persidangan nanti ada keputusan. Jika Syekh Siti Jenar perlu ditangkap, kita tangkap!”

“Saya setuju!” ujar Pangeran Bayat. “Apa pun yang terjadi jika itu keputusan raja, sudah semestinya kita taati.”

“Baiklah.” Sunan Kalijaga menganggukan kepala, tatapan matanya tertuju pada Sunan Bonang, mata hatinya    mulai bersentuhan dan bercakap‐cakap. ‘Kanjeng Sunan Bonang, saya secara syariat tidak bisa melawan kehendak Allah.’

‘Ya, karena itu sudah menjadi sebuah taqdir dan ketentuan yang mesti dijalani. Kita lihat dan ikuti saja…meski secara lahiryah tetap harus berikhtiar. Saya kira Syekh Siti Jenar juga paham perjalanan hidupnya…’ batin Sunan Bonang, tatapan matanya menerbar sinar kemerah‐merahan beradu dengan sorot mata pancaran jingga Sunan Kalijaga.

“Ada apa?” Sunan Drajat tersentak dari duduknya, “Mengapa ada pancaran sinar dari…”

“Disini tidak ada yang aneh, Kanjeng Sunan Drajat.” tegur Sunan Giri, “Kenapa Kanjeng tersentak?” tatapan matanya mengikuti sudut pandang Sunan Drajat, tetapi tidak menemukan hal yang perlu dikejutkan.

“Tidakkah Kanjeng me…”

“Benar, Kanjeng Sunan Drajat.” tatap Sunan Bonang. Seakan‐akan menembus batin hingga tidak berdaya.

“Kanjeng Sunan Bonang?” Sunan Drajat mengangukan kepala, meski tidak mengerti. Hatinya seakan‐akan disusupi nasihat yang sebelumnya tidak pernah diketahui. “Saya harus menafsirkannya…”

“Apa yang telah terjadi? Kenapa saling memberi isyarah?” Pangeran Bayat kebingungan. “Kanjeng Sunan Giri?” “Saya juga tidak terlalu paham, Pangeran.” bisiknya, lalu menatap Sunan Bonang. “Kanjeng Sunan Bonang?”
“Tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, Kanjeng Sunan Giri.” ujar Sunan Bonang, “Putusan terbaik dalam menyikapi Syekh Siti Jenar dan pengikutnya, kita mesti menunggu keputusan Raden Patah, sesuai dengan pendapat Kanjeng. Kami berisyarah setuju pada perkataan Kanjeng Sunan Giri tadi.”

“Baiklah jika demikian. Kita bersidang dengan pihak pemerintahan demi mengambil keputusan.” Sunan Giri mengaggukan kepala, lalu perlahan bangkit dari duduknya.

Share this: