“Apakah dia mengajarkan pula ilmu ma’rifat?”
“Tentu saja.” terang Syekh Siti Jenar, “Namun Sunan Kalijaga tidak seperti saya cara mengajarkannya. Lihatlah tentang gamelan dan wayangnya, lihatlah tentang shalat yang lima waktu…..”
“Saya paham, Syekh.” Kebo Kenongo mengangguk‐anggukan kepala. “Dia tidak mudah memberikan ilmu yang lebih tinggi tahapannya….”
“Lihatlah tangga yang menuju padepokan saya, Ki Ageng Pengging!”
“Bertahap?” gumam Kebo Kenongo, “Mengapa Syekh memberikan apa saja yang diminta orang tanpa melalui tahapan?”
“Bukankah tadi telah saya uraikan? Kenapa tidak jika saya telah berada dalam lingkar dzat Maha Pemurah, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang. Manunggaling Kawula Gusti.”
“Hhhhhmmmmmm….” Kebo Kenongo menarik napas dalam‐dalam, pikirannya mencoba mencerna segala uraian yang telah disampaikan Syekh Siti Jenar. Terkadang gampang dicerna, kadang pula sangat berat untuk dipahami. “Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk mencapainya. Namun yang dimaksud Manunggaling Kawula Gusti menurut Syekh?”
“Manunggaling Kawula Gusti?” Syekh Siti Jenar lantas berdiri di atas satu kaki, “Saya berikan dua arti; pertama manunggaling sifat, kedua manunggaling dzat.”
“Maksudnya?”
“Manunggaling sifat,” Syekh Siti Jenar kembali berdiri di atas dua kakinya, lalu melangkah perlahan. “Sebelumnya saya akan bertanya pada, Ki Ageng Pengging. Apa rasanya gula? Apa pula rasanya garam?”
“Tentu saja gula manis, dan garam asin.”
“Berikan pula gula dan garam ini pada seratus orang. Biarkan mereka mengecap dengan lidahnya, lalu tanya oleh Ki Ageng Pengging.”
“Semuanya akan mengatakan sama, Syekh. Manis dan Asin. Meski dikasihkan pada seribu orang.” “Itulah yang dikatakan manunggaling sifat.”
“O…ya…” Kebo Kenongo mengangguk‐anggukan kepalanya.
“Selamat datang di Masjid Demak, Pangeran Bayat.” ujar Sunan Giri, lalu duduk bersila di samping Sunan Kudus, Sunan Muria, tidak ketinggalan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. “Saya kembali kedatangan Ki Sakawarki dan Ki Demang Bintoro.” tatapan matanya menyapu wajah kedua orang yang disebutnya, duduk berhadapan.
“Terimakasih, saya mendengar kabar burung tentang ajaran sesat yang disebarluaskan Syekh Siti Jenar.” Pangeran Bayat menatap Demang Bintoro, “Ajaran sesat macam apa?”
“Sampaikanlah kabar terbaru tentang ajaran Syekh Siti Jenar dan pengikutnya, Ki Demang!” ujar Sunan Giri.
“Gusti Pangeran, juga Kanjeng Sunan yang saya hormati, ajaran itu benar‐benar menyesatkan. Hidup itu untuk mati, mati itu untuk hidup, akhirnya banyak rakyat Kademangan Bintoro yang bunuh diri.” Ki Demang berhenti sejenak, “Saya selanjutnya melakukan penyelidikan bersama Ki Sakawarki. Ternyata bukan hanya isapan
jempol belaka tentang kesesatan ajaran Syekh Siti Jenar itu.”
“Saya semula tidak percaya tentang ajaran sesat Syekh Siti Jenar.” tambah Ki Sakawarki, “Tapi ketika mendengar langsung dan menyaksikan barulah percaya.”
“Adakah penyimpangan lain dari ajaran Islam yang berkaitan dengan aqidah?” tanya Sunan Giri.
“Tentu saja, Kanjeng.” Ki Sakawarki menganggukan kepala, “Mereka tidak mesyariatkan shalat lima waktu, begitu pula kewajiban lainnya.”
“Menyimpang dan sesat secara aqidah!” Sunan Giri geram.
“Benarkah mereka juga melakukan tindakan makar? Selain menyebarluaskan ajaran sesatnya?” tanya Pangeran Bayat.
“Itulah yang kami saksikan.” jawab Demang Bintoro. “Dengan bukti melakukan penyerangan terhadap Kademangan.”
“Keparat!” muka Pangeran Bayat merah padam, “Saya kira dibelakang semua ini Ki Ageng Pengging juga punya kepentingan?”
“Mungkin? Karena merasa masih keturunan Majapahit, Gusti?” tambah Demang Bintoro. “Yang paling mencolok mereka menyebut nama pimpinan pemberontak Kebo Ben….”
“Jika itu Kebo Kenongo, maka dugaan saya benar.” potong Pangeran Bayat. “Karena Kebo Kenongo nama lain dari Ki Ageng Pengging….”
“Disini telah berbaur antara aqidah islam dan politik…..”
“Benar, Kanjeng Sunan Kalijaga!” potong Pangeran Bayat, “Untuk itu kita tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Sebab jika dibiarkan akan mengancam keutuhan negeri Demak Bintoro.”
‘Padahal maksud saya tidak seperti itu, Kanjeng?’ Sunan Kalijaga beradu tatap dengan Sunan Bonang, memulai percakapan dengan batinnya.
‘Saya kira tidak perlu mencampuri persoalan ini terlalu jauh, Kanjeng.’ tatap Sunan Bonang. ‘Jika itu dilakukan sangatlah berlebihan, seakan‐akan kitalah yang memiliki ilmu terlalu tinggi. Sehingga tanpa beranjak dari tempat duduk mengetahui yang sesungguhnya telah terjadi.’
‘Betapa sombong dan angkuhnya kita, Kanjeng.’ Sunan Kalijaga mengaggukan kepala. ‘Namun tidak ada salahnya jika kita dimintai pendapat…’
“Politik macam apa yang terjadi dibalik tersebarnya ajaran sesat ini?” tanya Demang Bintoro.