Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat page 29

“Lantas orang yang bisa meringankan tubuh dan mengeluarkan tenaga dalam, membuat musuh terpental, berada pada tahapan apa?”

“Dalam tahapan syariat.” Syekh Siti Jenar lalu memukul batu padas seukuran kelapa, diremasnya hingga bertebaran laksana debu. Jasadiah yang dilatih akan menghasilkan kanuragan, dipadukan dengan batin keluar tenaga dalam.” lalu membuka telapak tangan dan dihentakan pada batang pohon.

Krak, patah, dan jatuh di samping Kebo Kenongo. Kebo Benowo dan Loro Gempol sama sekali tertahan menyaksikan Syekh Siti Jenar dengan ilmunya yang tinggi sangat sulit mencari bandingannya.

“Harus selalukah mengeluarkan tenaga dalam dengan batin?”

“Maksud batin disini bukanlah ada pada tingkatan ma’rifat, tetapi pikiran dan hati yang terfokuskan. Konsentrasi.” terang Syekh Siti Jenar, “Untuk mencapai ilmu kanuragan dan sebangsanya yang meliputi kekuatan jasadyah, tidak perlu mencapai ma’rifat.”

“Termasuk hakikat dan thariqatnya?”

“Benar, karena kanuragan masih berada dalam lingkar jasadyah, keangkuhan, kesombongan, emosional, semangat untuk mencari lawan, memukul, dan amarah.”

“Saya paham, Syekh.” Kebo Kenongo mengangguk‐anggukan kepalanya, “Meskipun sangat hebat dan sakti orang yang berada dalam tahapan ma’rifat tidak akan sewenang‐wenang mempertontonkan kesaktiannya,

karena segala hal dalam dirinya telah terkendali termasuk nafsunya.”

“Ki Ageng Pengging, jangan melupakan kebutuhan jasad! Meski kita berasa pada tahap ma’rifat seutuhnya.” ujar Syekh Siti Jenar, “Kebutuhan jasad adalah syarat hidup, meski sebetulnya tidak makan pun tidak akan merasa lapar. Namun kita makluk yang memiliki jasad, janganlah menyiksa dan memenjarakan kebutuhannya.”

“Saya paham, Syekh.” Kebo Kenongo mengangguk. “Ma’rifat itu seakan kita berada di atas ketinggian dan bisa mencapai ke segala arah, menyentuhnya, merubahnya, menikmatinya, merasakannya….”

“Lanjutkanlah, sempurnakanlah ma’rifat itu…..” Syekh Siti Jenar melangkah pelan.

“Syekh,” rintih Loro Gempol, baru berani mendekat. “Sembuhkanlah dada saya yang terasa sakit dan sesak.”

“Andika mendapat tendangan petir geni dari Ki Sakawarki. Tentu saja akan terasa sesak dan panas….” Syekh Siti Jenar hanya dengan tatapan matanya, mengobati rasa sakit yang di derita Loro Gempol.

“Terimakasih, Syekh.” Loro Gempol dengan penuh hormat mencium kaki Syekh Siti Jenar. “Saya sudah kembali pulih. Syekh, benar‐benar sakti. Bisakah semua ilmu yang Syekh miliki diturunkan pada saya?”

“Jika andika mau,” Syekh Siti Jenar mengangkat bahu Loro Gempol agar tidak lagi mencium kakinya. “….dan sanggup menjalaninya.”

“Tidak bisakah jika ilmu kesaktian Syekh langsung diturunkan pada saya?”

“Ilmu kanuragan sangat mudah diturunkan! Namun untuk mencapai tahapan ma’rifat perdalamlah sendiri, saya hanya memberi petunjuk.”

“Baiklah, kalau ilmu ma’rifat lain kali saja. Sekarang turunkanlah ilmu menendang yang lebih hebat dari Ki Sakawarki.”

“Pulanglah! Ilmu itu sudah andika miliki.” “Benarkah itu, Syekh?”
“Tendanglah batu padas itu!” Syekh Siti Jenar mengarahkan telunjuknya pada batu padas yang seukuran tubuh kerbau. Terletak di halaman padepokan.

“Hiattttt!” Loro Gempol loncat, tendangannya menghantam batu. Tidak pelak lagi, hancurlah berkeping‐keping. “Terimaksih, Syekh. Akhirnya saya bisa mebalas Ki Sakawarki. Sekarang juga saya mohon pamit.”

“Gempol….Gempol…” Kebo Kenongo hanya menggelengkan kepala menyaksikan Loro Gempol dan Kebo Benowo, yang sudah turun dari padepokan Syekh Siti Jenar. Hingga lenyap ditelan ketinggian. “Masih ada orang seperti  dia? Kenapa pula Syekh memberikan ilmu dengan mudah kepada mereka?”

“Tidak sepantasnya kita sebagai makhluk Allah menyembunyikan ilmu.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Kebo Kenongo dengan tatapan matanya. “Jika itu dilakukan maka kita bertentangan dengan sipat Allah yang Maha Pemurah, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang. Kikir itu adalah sipat Syetan, menyembunyikan pun demikian. Bergerak luruslah dengan sipat‐sipat Allah, menyatulah didalamnya. Karena sipat‐sipat Allah itu bukan untuk dibicarakan dan dibahas secara panjang lebar, tetapi harus diamalkan.”

“Mengamalkan itulah yang berat, Syekh.” ujar Kebo Kenongo. “Kebanyakan manusia terkadang sangat keberatan jika orang lain menginginkan ilmu yang dimilikinya?”

“Tentu saja. Karena masih menyatu dengan kebalikan sipat‐sipat Allah, yang saya ungkap tadi.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Terkadang manusia berpikir, betapa susah untuk meraih ilmu, betapa berat untuk mendapatkannya, betapa harus berkorban tenaga dan harta untuk meraihnya, maka jika demikian haruskah diberikandengan cuma‐cuma?”

“Syekh sendiri?”

“Itulah saya seperti Ki Ageng Pengging lihat. Mengapa lagi harus menentang sipat‐sipat Allah jika kita sudah berada dalam lingkarnya, bukankah kita berada dalam manunggalnya.”ujar Syekh Siti Jenar. “Apalagi yang saya inginkan?”

“Meski saya kurang begitu paham maksudnya, sedikit‐demi sedikit akan berusaha mencernanya.”Kebo Kenongo menempelkan telunjuk dikeningnya. “Pantas saja sangat jarang orang pemurah semacam, Syekh. Karena mereka masih berada dalam tahap syariat, kebutuhan jasadyahlah yang paling utama. Hingga saya berpendapat apalagi yang tidak bisa Syekh dapatkan? Semuanya berada dalam genggaman.”

“Nafsu duniawi itu akan sirna, seperti saya uraikan sebelumnya.”

“Kenapa Sunan Kalijaga dan para wali yang setarap ilmunya dengan Syekh lebih menyukai berada dalam lingkar kekuasaan?”

“Itu bukan tujuan mereka untuk meraih kekuasaan. Terutama Sunan Kalijaga, jika dia ingin berkuasa tentu sudah menjadi raja. Karena dia seperti halnya Ki Ageng Pengging keturuan darah biru.” terang Syekh Siti Jenar, “Sunan Kalijaga setelah memperdalam ajaran Islam, melepas kekuasaan dan keduniawian, terutama sekali setelah berada dalam tahapan seperti saya. Dia berada dalam lingkar kekuasaan Demak, semata untuk menyebarluaskan syariat Islam. Bukan berarti gila kekuasaan atau membuntuti penguasa untuk mendapatkan keuntungan.

Share this: