Penunggang kuda yang berada disampingkanannya tampak tegap dan kuat, tangan kirinya menuntun kuda disebelahnya, tampak terhuyung. Meringis kesakitan, tangannya berkali‐kali memijit dadanya.
“Aduhhhhh…..sakit…sesak….” keluhnya.
“Tenang, Gempol. Padepokan Syekh Siti Jenar telah dekat.” ujar Kebo Benowo, mempercepat langkah kuda yang ditungganginya.
“Saya sudah tidak kuat lagi, Ki Benowo.” keluh Loro Gempol, “Punya ajian apa sesungguhnya Kiai Kademangan Demak itu?”
“Saya juga tidak tahu, Gempol.” terang Kebo Benowo, “Kita tanyakan semua ini pada guru kita di padepokan nanti. Hussss…hiahhh!”
Kuda yang ditunggangi Kebo Benowo dan Loro Gempol, berhenti di kaki bukit, persis di depan jalan menanjak. Tanah bukit yang dipapas menyerupai anak tangga bertingkat itu tepat berada di bawah padepokan Syekh Siti Jenar.
Kebo Benowo loncat dari atas kuda, perlahan menurunkan Loro gempol yang terhuyung. Keduanya menaiki tangga dengan berat, setelah mengikat kedua kuda tunggangannya di bawah pohon rindang.
“Keparat!” geram Loro Gempol, “Keterlaluan Syekh Siti Jenar ini, tinggal di dataran tinggi…..” keningnya meneteskan keringat dingin, tangannya memijat dada, langkahpun tidak seimbang.
“Tidak perlu bicara seperti itu, Gempol.” bisik Kebo Benowo. “Adikan masih tidak menyadari juga kalau guru kita ini memiliki kesaktian tinggi? Apa pun yang kita bicarakan meskipun jauh beliau bisa mendengarnya.”
“Omong kosong! Jika memang demikian tentu dia tahu ketika kita berada dalam kesulitan….” gerutu Loro Gempol. “Sssssssttttttt…” Kebo Benowo meletakan telunjuk dimulutnya.
“Andika belum paham juga dengan ajaran hamamayu hayuning bawana.” terdengar suara Syekh Siti Jenar tepat ditelinga keduanya, “….bukankah kalian tidak boleh menebar kerusakan dimuka bumi ini, justru harus sebaliknya.”
“Syekh?” Kebo Benowo terperanjat, begitu juga Loro Gempol. “Tuh, benar yang saya katakan, Gempol?”
“Ya,…..” wajah Loro Gempol mendadak pucat dan cemas. “Maafkan saya, Syekh. Tidak ada maksud untuk menjelekan…” lalu memutar kepalanya, mencari wujud yang memiliki suara.
“Andika tidak akan bisa melihat saya di sana. Karena wujud saya tidak di sana.” suara Syekh Siti Jenar semakin menempel di dalam gendang telinga keduanya.
“Dimanakah, Syekh?” teriak Kebo Benowo, tidak menghentikan langkahnya. Hingga keduanya telah berada di atas tangga terakhir, dalam jarak beberapa depa dari gerbang padepokan. “Itu beliau, sedang berbincang‐bincang dengan Ki Ageng Pengging.” matanya terbelalak.
“Lalu suara tadi?” Loro Gempol menggeleng‐gelengkan kepala. “Bukankah yang berada di halaman padepokan itu Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng pengging? Sedang bercakap‐cakap. Mengapa suaranya…..”
“Syekh, ketika saya sudah berada dalam tahapan ma’rifat, sangatlah sulit untuk mengungkapkannya dengan kalimat.” Kebo Kenongo berdiri dihadapan Syekh Siti Jenar. “Tadinya saya ragu, tidak bisa mencapainya.”
“Ya, itulah ma’rifat.” Syekh Siti Jenar menganggukan kepala, “Terasa lebih nikmat dibanding berada pada tahapan thariqat.”
“Benar, Syekh.” Kebo Kenongo menganggukan kepala, “Kenikmatan dalam ma’rifat sepertinya sangat indah. Dunia ini terasa sangatlah kecil dan tidak berarti….”
“Ma’rifat itu berada dalam alam jiwa, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar mengibaskan jubah hitam yang berlapis kain merah di dalamnya. “Sedangkan kita sekarang berada dalam alam jiwa dan jasad. Jasad tetap harus terbungkus pakaian dan jubah, meski bukan kepuasan, tetapi hanyalah syarat yang dinamakan kehidupan bagi orang kebanyakan. Satukanlah jiwa dan jasad itu, maka disitulah ma’rifat seutuhnya akan terwujud.”
“Jadi ma’rifat yang saya alami belum utuh, Syekh?”
“Tentu.” Syekh Siti Jenar menganggukan kepala. “Kita sebelum mengenal Gusti dan menuju akrab, hendaklah mengenali dulu diri sendiri. Ki Ageng Pengging, saat ini sudah masuk pada tahapan yang saya maksud.”
“Jadi saya baru mengenal diri?”
“Setelah itu kenalilah Gustimu, barulah akrab. Sebelum akrab ma’rifatlah seutuhnya.” terang Syekh Siti Jenar, “Satukanlah yang tercabik, genapkanlah yang ganjil, dekatkanlah yang jauh, rapatkanlah yang renggang. Hingga manunggaling kawula wujud.”
“Manunggaling kawula wujud?”
“Maunggaling kawula wujud, ma’rifat seutuhnya. Tahapan orang yang mengenal dirinya, hingga berikutnya manunggaling kawula gusti. Wujud adalah jiwa, jiwa adalah jasad, jasad maujud jiwa, jiwa maujud jasad.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, perlahan tubuhnya menembus pohon, lalu mengeluarkan sebelah tanganya dari dalam. “Saya berada dalam pohon, setelah itu kembali.”
“Ya, Allah.” Kebo Kenongo terkagum‐kagum, matanya seakan‐akan tidak bisa berkedip, menyaksikan Syekh Siti Jenar yang telah keluar dari dalam batang pohon. “Betapa hebatnya ilmu yang Syekh miliki.”
“Ilmu itu milik Allah. Saya adalah manusia biasa, itu hanya menjelaskan manunggaling kawula wujud. Hingga wujud ini bisa menjadi halus seperti jiwa, jiwa pun bisa keras seperti wujud.” lalu Syekh Siti Jenar duduk bersila di atas rumput hijau, tidak bergerak. Perlahan keluar satu sosok Syekh Siti Jenar lain, lalu melangkah mengitari yang sedang bersila. “Inilah jiwa, inilah jasad, maka menyatu, manunggaling kawula wujud.”
“Subhanallah…..” Kebo Kenongo terbelalak untuk kesekian kalinya, kedipun seakan‐akan hilang dari kelopak matanya.
“Itulah manunggaling kawula wujud. Dalam tahapan ma’rifat seutuhnya manusia bisa memisahkan jiwa dengan jasad, menyatukannya kembali. Namun itu bukanlah mati, sebab jasad yang saya lepas dalam keadaan hangat. Hanya gerak dan geriknya berada di luar.”