Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat page 27

“Siap, Ki Demang!” pasukan pemanah bersiap, untuk melepas anak panah. Busurnya sudah dipegang dengan kuat, talinya ditarik, anak panahnya dipasangkan, tinggal melepas sesuai perintah.

Tubuh Ki Sakawarki yang melayang di angkasa terlihat sangat enteng dan ringan, bagaikan burung elang dengan sorot matanya yang tajam. Lalu menukik ke bawah, berbarengan dengan tendangan kaki kanannya yang menghantam dada Loro Gempol.

“Aduhhhh….!!!” betapa terperanjatnya Loro Gempol, ketika ada lelaki berjubah putih yang turun dari langit dan mengirimkan tendangan keras ke arah dadanya, hingga dirinya terpental dan jatuh dari punggung kuda. “Makhluk apakah yang menendang dadaku hingga terasa sesak dan panas….membakar sekujur tubuhku….”

“Bukankah andika murid Syekh Siti Jenar yang sakti?” Ki Sakawarki melayang dan berdiri dihadapan Loro Gempol yang terhuyung, seraya tangan kirinya memegang dada.

“Siapa andika? Mengapa bisa terbang seperti Syekh Siti Jenar guru saya?”

“Saya Sakawarki, muridnya Sunan Kalijaga. Andika mengaku muridnya Syekh Siti Jenar dan menganggap remeh para wali. Ternyata ilmu yang andika pelajari dari Syekh Siti Jenar tidak seberapa?” Ki Sakawarki mendekat, “Andika harus ditangkap karena telah berani melakukan pemberontakan dan……”

Hiatttt….belum juga Ki Sakawarki selesai berbicara, Kebo Benowo dengan cepat menyambar tubuh Loro Gempol yang terhunyung‐huyung. Dinaikan ke atas kuda dan melarikan diri dari pertempuran.

“Mundurrrrrrr!!!!” teriak Kebo Benowo, seraya memacu kudanya dengan cepat.

“Jangan lari keparat!” Ki Sakawarki bersiap untuk mengejar, namun Lego Benongo menghadangnya.

“Kematian itu indah, kehidupan ini adalah penderitaan. Karena kematian lebih baik dari hidup miskin dan terjajah, hamamayu hayuning bawana.” ujar Lego Benongo, seraya menyilangkan golok di dadanya.

“Tidak salah yang andika ucapkan, Ki Sanak?” Ki Sakawarki mengurungkan gerakan silatnya, sejenak berdiri dan mencerna ucapan Lego Benongo. “Mungkin inikah yang dinamakan sesat?”

“Siapa yang sesat? Andikalah dan para wali, juga penguasa negeri Demak Bintoro yang sesat?” lalu Lego Benongo menyelinap di antara lautan prajurit yang merangsek, setelah itu melarikan diri.

“Aku jadi kehilangan kejaran.” Ki Sakawarki mengincar salah seorang pasukan gelap sewu untuk ditangkap. Mereka terlihat berlarian dari medan tempur setelah pimpinannya menghilang ditelan gelapnya malam. “Sulit juga menangkapnya. Mereka pintar menyelinap!”

“Kademangan Bintoro telah terbebas dari pemberontak!” teriak para prajurit. Sebagian berjaga‐jaga, yang lainnya menolong yang terluka, serta mengangkut korban tewas.

“Ki Sakawarki, benar bukan mereka muridnya Syekh Siti Jenar?” Ki Demang Bintoro berdiri di samping Ki Sakawarki.

“Ya, namun mungkinkah beliau mengajarkan ajaran seperti ini?”

“Mengapa tidak mungkin?” ujar Ki Demang, “Bukankah kita sudah berhasil menangkap hidup‐hidup salah seorang muridnya yang mengaku anggota pasukan gelap sewu. Orang ini kita bawa ke pusat kota Demak untuk memasuki persidangan para wali sebagai saksi dan bukti.”

“Dimana dia?”

“Dia berada dalam penjagaan para prajurit.” Ki Demang menunjuk ke utara, seraya kakinya melangkah pelan. “Mari kita tanyai!”

“Baiklah, mudah‐mudahan bisa memperkuat dugaan kita dalam persidangan di majelis para wali.” Ki Sakawarki melangkah pelan disamping Ki Demang Bintoro. Ketika langkah keduanya hampir mendekat, para prajurit penjaga berteriak. Menyampaikan kabar bahwa, murid Syekh Siti Jenar bunuh diri dengan membenturkan kepalanya ke dinding hingga kepalanya pecah.

Mendengar kabar demikian, Ki Sakawarki dan Ki Demang terkejut. Keduanya saling tatap seraya mengurut dada dan menarik napas dalam‐dalam.

“Sangat kuat pengaruh ajaran Syekh Siti Jenar, Ki Sakawarki.” Ki Demang Bintoro menggeleng‐gelengkan kepala saat melihat jasad anggota pasukan Gelap Sewu yang terbujur kaku dengan kepala pecah, berlumuran darah. “Ajaran hidup mati, mati hidup.”

“Ki Demang, kita sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa benar ajaran Syekh Siti Jenar itu sesat dan menyesatkan.” Ki Sakawarki berjongkok disamping jasad.

“Cukup bukti kita untuk kembali melaporkan hal ini ke hadapan para wali, Ki Sakawarki.”

“Benar, kita harus segera melapor ke pusat kota Demak!” Demang Bintoro menganggukan kepala. “Sebagai bukti tidak ada salahnya jika jasad ini dibawa.”

“Menurut hemat saya sebaiknya jasad ini kuburkan saja di sini selayaknya. Kasihan jika harus dibawa ke Demak, sebab perjalanan kita memakan waktu hampir seharian. Setelah itu baru keesokan harinya kita bisa menguburkan setelah diperiksa para wali.” terang Ki Sakawarki. “Tidak ada salahnya jika jasad ini dikuburkan berbarengan dengan korban lainnya.”

“Tapi dia beraliran sesat, Guru?” ujar seorang santri yang berjongkok disampingnya.

“Ajarannya yang kita anggap sesat. Bukankah jasadnya tetap perlu kita hormati dengan penguburan yang selayaknnya.” terang Ki Sakawarki.

“Saya setuju,” Demang Bintoro menganggukan kepala, “Prajurit kuburkanlah mereka dengan layak, begitu juga para korban tewas lainnya.” lalu memerintah.

Padepokan Syekh Siti Jenar yang berada di kaki bukit Desa Khendarsawa, tampak hening. Matahari pagi mulai meninggi, kirimkan sinar terang dan kehangatannya. Cahayanya menerobos setiap celah dan ruang yang berada di atas bumi, tidak ada kecuali, tidak pula membeda‐bedakan, seluruhnya terbagi sesuai dengan ketinggian matahari berada.

Share this: