Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat page 26

“Mereka berbicara bahwa hidup itu lebih indah dari pada mati. Tidak ada artinya kita hidup jika hak kita dirampas oleh penguasa Demak. Hidup untuk mati, mati itu indah, hidup Syekh Siti Jenar!” ki santri berhenti sejenak, “Itulah yang saya dengar dan lihat, Guru.”

“Mati itu indah? Celaka!” Ki Sakawarki terperanjat.

“Yang paling celaka, mereka telah berani mengatakan bahwa hak hidup mereka dirampas oleh penguasa Demak.” Ki Demang tersentak, mukanya berubah angker, “Beraninya Syekh Siti Jenar mengajari rakyat Kademangan  Bintoro untuk berkata lancang! Jelas selain menyesatkan juga punya tujuan makar terhadap pemerintahan yang syah.”

“Benar pendapat, Ki Demang!” Ki Sakawarki menganggukkan kepala, tangannya terkepal giginya gemeretak. “Sudah sepantasnya kita mengadakan tindakan dengan segera!”

“Ya, Ki Sakawarki. Saya kira alasan seperti itu sudah cukup untuk melakukan penangkapan terhadap Syekh Siti Jenar dan pengikutnya.” Ki Demang Bintoro bangkit dari duduknya, tangannya dikepalkan sekuat tenaga. “Karena mereka telah melakukan dua kesalahan. Pertama menyampaikan ajaran sesat, kedua telah berani mempengaruhi rakyat untuk berbuat makar.”

“Apakah kita akan langsung menangkap Syekh Siti Jenar? Atau segera melaporkan hal ini pada Para Wali dan Raden Patah?”

“Sebelum melaporkan ke kerajan Demak dan para Wali sebaiknya kita melakukan penangkapan terlebih dahulu pada pengikutnya. Agar pelaporan kita disertai oleh bukti yang meyakinkan.” ujar Ki Demang. “Besok pagi saya akan memerintahkan beberapa orang prajurit untuk melakukan penangkapan! Saya minta agar Ki Sakawarki beserta para santri menyertainya!”

“Baiklah, Ki Demang. Besok pagi akan saya kerahkan para santri menyertai para prajurit kademangan untuk melakukan penangkapan.”

“Bagus.”

“Serbuuuuuuu!!!!” tiba‐tiba terdengar teriakan di halaman kademangan, dibarengi suara benturan senjata.

“Ada apa diluar sana?” Ki Demang Bintora tersentak kaget, belum juga mulutnya terkatup sudah diusik oleh suara yang menganggetkan.

“Sepertinya ada peretempuran, Ki Demang?” Ki Sakawarki bangkitdari duduknya seraya menghunus keris, begitu juga para santrinya.

“Ke….” belum juga Ki Demang melanjutkan perkataannya, dengan tergesa masuklah seorang prajurit penjaga. Langsung merunduk di hadapan Ki Demang seraya menghaturkan sembah.

“Mohon ampun, Ki Demang.” “Apa yang terjadi diluar sana?”
“Celaka, Ki Demang. Kademangn kita telah diserbu para murid Syekh Siti Jenar….” “Murid Siti Jenar?” Ki Sakawarki tercengang.

“Itulah yang mereka sebut‐sebut ketika melakukan penyerangan di luar sana.” terang prajurit.

“Berarti itu bukan hanya dugaan, Ki Sakawarki. Tetapi benar yang kita simpulkan tadi. Mau tidak mau sekarang juga harus bertindak dan mengadakan perlawanan.” Ki Demang segera memasuki kamarnya, seraya kembali menghunus pedang dan mengenakan pakaian perang. “Seluruh prajurit harus berperang dan menumpas antek‐ antek Syekh Siti Jenar. Jangan segan‐segan untuk bertindak tegas!” selanjutnya keluar dari ruangan, diikuti Ki Sakawarki beserta para santrinya dan pasukan prajurit.

Dalam keremangan malam yang diterangi kerlap‐kerlipnya bintang di langit. Bulan belum lagi menjadi purnama, di pelataran kademangan Bintoro tampak berkelebatannya bayangan prajurit dan pasukan Gelap Sewu yang sedang bertarung.

“Hahaha…..jangan sisakan yang tidak mau menyerah. Ilmu Syekh Siti Jenar menyertai kita!” teriak Loro Gempol yang berada di atas punggung kuda, menerobos pasukan lawan sambil membabatkan goloknya.

“Tobaattttt….!” teriak seorang prajurit yang terkena sabetan golok Loro Gempol, terhuyung dan roboh dengan luka parah di lambungnya.

“Hahaha….perlihatkanlah kehebatan kalian para prajurit dan petinggi negeri Demak! Saya yakin ilmu para wali tidak akan bisa mengalahkan ilmu guru kita, Syekh Siti Jenar yang agung.” Loro Gempol terus mengamuk, menerjang gelombang pasukan prajurit Kademangan Bintoro yang berlapis‐lapis.

“Ki Demang, dengarlah teriakan lelaki yang sedang mengamuk dan berusaha menerobos lapisan prajurit kita!” bisik Ki Sakawarki.

“Benar, ternyata dia murid Syekh Siti Jenar.” Ki Demang Bintoro menggeleng‐gelengkan kepala. “Betapa angkuhnya dengan kesaktian yang dimilikinya, Ki Sakawarki?”

“Mengagunggkan Syekh Siti Jenar dan merendahkan para wali terhormat, Ki Demang.” “Sanggupkah kiranya kita mengalahkan mereka?”
“Tidak perlu ragu, Ki Demang. Saya punya keyakinan Allah SWT. akan melindungi kita. Lihatlah jumlah pasukan kita lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan pasukan musuh yang berpakaian serba hitam.”

“Saya kira pasukan mereka harus ditutup ruang geraknya. Lalu robohkan pimpinannya yang sedang mencoba menembus lapisan pertahanan para prajurit. Jika pimpinannya roboh mereka akan mundur.” ujar Ki Demang Bintoro.

“Biar saya yang akan loncat dan merobohkannya!” ujar Ki Sakawarki seraya bersiap‐siap untuk loncat.

“Kelihatannya dia bukanlah orang yang mudah dikalahkan. Karena tebasan senjata para prajurit seakan‐akan tidak bisa melukai tubuhnya.”

“Ki Demang, saya kira di dunia ini tidak ada orang yang hebat kecuali Allah. Tidak ada salahnya jika saya mencoba menghadapinya demi mempertahankan tanah tercinta dari kedzaliman. Maka jihadlah jalan keluarnya.” Ki Sakawarki tanpa menunggu ucapan Ki Demang berikutnya, seraya dirinya menghunus keris dan melesat ke angkasa melewati barisan prajurit yang berlapis‐lapis. “Hiaaaaattttt…….!!!!”

“Pasukan pemanah bersiaplah kalian di belakangku! Jika pasukan terdesak, bertindaklah kalian!”

Share this: