“Jadi?”
“Tidak perlu takut, bukankah saya sudah membekali andika semua dengan ilmu sehingga tidak menjadikannya aneh dan menakutkan. Sebaliknya kenikmatanlah yang akan kita sambut.”
“Mengapa hal itu mesti harus menimpa kita, Syekh? Bukankah kita tidak melakukan kesalahan?”
“Lupakah andika pada uraian saya tadi. Disini tidak lagi berbicara siapa yang benar dan salah? Karena ini semua sudah menjadi kehendak alam, sunatullah. Karena kehendak alam, makanya ilmu hamamayu hayuning bawana sebagai penyempurnanya.”
“Saya kurang paham?” Ki Biosono memijit keningnya yang dikerutkan, lalu menatap tikar pandan yang didudukinya.
“Rasanya, tidak perlu dipahami untuk saat ini. Pemahaman tentang hal tadi akan andika genggam menjelang peristiwa itu mendekat.” terang Syekh Siti Jenar tenang. “Meski andika tahu akan hal tadi, amalkanlah hamamayu hayuning bawana. Bertebaranlah seperti sebelumnya andika di atas tanah jawa dwipa ini untuk menyebarluaskan ajaran agama Islam.”
“Baiklah, Syekh. Saya tetap akan menebar rahmat bagi sekalian alam. Rahmatan lil alamin, hamamayu hayuning bawana.” ujar Ki Bisono. “Karena apa pun yang saya lakukan dalam penyebaran agama Islam ini bukan untuk mencari popularitas, bayaran, apalagi jabatan atau kekuasaan, serta pengaruh, namun itu semua saya dasari dengan keikhlasan dan keridlaannya. Semoga pula Allah SWT. meridloinya.”
“Amin.”
“Malam ini cuaca cerah. Lihatlah bintang‐gemintang berkedap‐kedip di langit!” Joyo Dento mengangkat kepalanya mendongak ke langit, ” Persiapkanlah diri kalian, senjata, kuda, dan akal.” lalu menatap pasukan berpakaian serba hitam yang berbaris rapih.
Mereka sejumlah pasukan pemberontak yang telah mendapat gemblengan olah kanuragan dari para pendekar berlatar rampok, Kebo Benowo dan kawan‐kawan. Disamping ilmu keprajuritan dari Joyo Dento.
“Bagaimana kesiapan andika semua?” Kebo Benowo keluar dari sebuah pendopo yang dijadikan markas. Tempat yang mereka diami terpencil dari penduduk, karena berada tepat di pinggiran hutan.
“Saya kira mereka suda siap, Ki Benowo.” ujar Joyo Dento mendekat.
“Baguslah jika telah siap.” Kebo Benowo mengangguk‐angukan kepala. “Sasaran pertama?”
“Tentu saja sesuai dengan rencana.” Joyo Dento setengah berbisik, “Malam ini kita harus bisa melumpuhkan Kademangan Bintoro. Jika sudah berhasil, langsung kita duduki dan kuasai. Disanalah selanjutnya pusatkan sebagian kekuatan kita, lalu perlebar sayap.”
“Hahaha….andika memang cerdas, Dento.” raut wajah Kebo Benowo berseri, “Namun sudah memungkinkankah kita menggempur Kademangan Bintoro?”
“Saya kira mungkin, Ki Benowo. Sebab kekuatan Kademangan Bintoro sudah melemah. Daya pikir rakyatnya sudah terpengaruh dengan ajaran hidup untuk mati. Yang andika ajarkan dari Syekh Siti Jenar itu, sehingga mereka banyak yang bunuh diri dan tidak semangat hidup.” terang Joyo Dento, “Apalagi membela negerinya dari serangan kita, memikirkan diri sendiri pun sudah tidak tenang.”
“Benar, Dento.” seringai Kebo Benowo, “Hebat juga pengaruh ilmu Syekh Siti Jenar jika demikian…terutama untuk membuat kekacauan.”
“Kapan kita akan berangkat?” Loro Gempol menyilangkan golok di dadanya, “Rasanya saya sudah tidak sabar ingin memenggal leher penguasa Kademangan Bintoro!”
“Kita akan melakukan penyerangan jelang tengah malam.” jawab Joyo Dento. “Ketika mereka lengah dan baru saja menuju tempat tidur untuk bercengkrama dengan mimpi‐mimpinya.”
“Ya, saya setuju!” ujar Loro Gempol diiringi tawanya yang berderai. “Hai, para pasukan gelap sewu! Andika dalam penyerangan nanti jangan ragu‐ragu untuk membunuh. Tidak perlu kalian mengasihani musuh sebelum mereka bertekuk lutut!”
“Siap!” jawab pasukan gelap sewu serempak.
“Hahaha…bagus jika andika semua sudah siap! Kita akan bergerak dan bertindak sesuai rencana yang telah disusun Joyo Dento.” terang Loro Gempol. Mereka percaya sepenuhnya pada setiap nasehat Joyo Dento.
Malam semakin larut, udara terasa semakin dingin, mengusik pori‐pori kulit meski berpakaian tebal tetap terasa. Meski berada dalam ruangan tetap angin malam menyelinap melalui lubang‐lubang angin yang membentengi pendopo Kademangan Bintoro.
Di ruang pendopo Kademangan Bintoro tampak Ki Demang, Ki Sakawarki, ulama yang dianggap berilmu paling tinggi di Kademangan, juga beberapa santrinya, dan ditambah beberapa prajurit senior.
“Itulah hasil perundingan saya dengan para wali dan ulama di masjid Demak, Ki Sakawarki.” ujar Ki Demang Bintoro.
“Jika memang demikian keputusan sidang para wali, insya Allah saya mulai besok akan melakukan penyelidikan yang lebih mendalam tentang ajaran Syekh Siti Jenar.” ujar Ki Sakawarki.
“Mohon maaf, Guru.” ujar Santri penuh hormat, “Menurut yang saya ketahui, sesungguhnya bukan hanya rumor. Namun benar bahwa ajaran Syekh Siti Jenar yang menyesatkan telah tersebar di Kademangan Bintoro.”
“Benarkah?”
“Benar, Guru. Kemarin saya melewati pasar, di sana banyak orang miskin yang berbicara ngelantur. Serta dari mulutnya komat‐kamit menyebut nama syekh Siti Jenar.”
“Apa yang dibicarakannya?” Ki Sakarwaki menyapu wajah santri dengan tatapan matanya, “Ngelanturnya seperti apa sehingga andika menyimpulkan sesat?”