“Hamamayu hayuning bawana, yang telah andika amalkan belumlah cukup. Sehingga alam pun tidak utuh memberikan sabdanya, namun meskipun demikian andika telah sanggup menyatu dengan alam meski belum sempurna.” Syekh Siti Jenar memutar tasbih dengan tangan kirinya sambil duduk bersila, sorot matanya yang penuh wibawa seakan‐akan sanggup menembus relung hati para muridnya. Bibirnya selalu meluncurkan dzikir, istigfar, dan takbir pada setiap sela‐sela perhentian bicara. “Namun tidaklah terlalu jauh, hanya tinggal satu tingkat lagi. Akhirnya andika pun akan sampai pada tingkat penyatuan dengan alam. Ketika ingin menyatu dengan setiap heningnya malam, tetesnya embun, semilirnya angin, jingganya matahari, bukan soal yang berat. Andika semua akan bisa mencapai tahapan tadi, hanya tinggal selangkah.”
“Benar, Syekh.” Ki Bisono menganggukan kepala. “Namun sesungguhnya kami telah berada pada tahap rahmatan lil alaminkah atau belum, Syekh?”
“Andika sebetulnya tidak harus mendapat penilaian dariku.” tatapan Syekh Siti Jenar menyapu wajah Ki Bisono yang langsung menunduk, tidak sanggup beradu tatap. “Biarlah Allah SWT. yang memberikan penilaian. Namun dalam hal ini saya hanya memberikan barometer bagi andika tentang rahmatan lil alamin atau hamamayu hayuning bawana.”
“Saya pun berpikir, Syekh. Sudahkah saya ini menjadi manusia yang telah memberikan rahmat bagi alam.” Ki Bisono mengerutkan dahinya, “…atau mungkin sebaliknya hanya menjadi laknatan lil alamin. Padahal banyak orang bilang jika dirinya sedang menebarkan rahmatan lil alamin, tetapi dalam kenyataannya mereka malah menciptakan sebuah keruksakan dan kehancuran.”
“Benar, Syekh. Seperti yang dikatakan Ki Bisono, kebanyakan orang seperti itu, antara ucapan dan perbuatannya kontroversi.” tambah Ki Chantulo.
“Andika tidak harus membicarakan orang lain.” Syekh Siti Jenar menghela napas dalam‐dalam, “Biarlah mereka seperti itu, karena mereka berbuat demikian maka hasilnya pun akan mereka tuai pula. Namun sebaliknya, meski pun kita berusaha mengamalkan hamamayu hayuning bawana, tidaklah selalu menuai hasil baik….”
“Maksud, Syekh?” para murid Syekh Siti Jenar serempak bertanya dan terkejut.
“Tidakkah andika melihat sabda alam tadi?” Syekh Siti Jenar membelokkan tatapannya melalui jendela padepokan ke arah mentari yang hampir menghilang di balik punggung gunung. “Alam memberikan pesan berdarah?”
“Saya belum paham?” Ki Chantulo garuk‐garuk kepala.
“Artinya berujung pada kematian. Namun andika jangan takut akan kematian, sebab cepat atau pun lambat pasti akan datang.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah murid‐muridnya dengan tatapan mata tenang dan penuh wibawa, “Makanya saya ajarkan hamamayu hayuning bawana, agar memudahkan jiwa ini menyatu dengan alam dan kembali padanya. Orang takut akan kematian karena mereka menduga bahwa mati itu sangat sakit dan mengerikan. Padahal itu semua tidak benar, mereka yang merasakan sakit akan mati karena sebuah ketakutan dan ketidaksiapan. Padahal kapan pun dan dimana pun kita bisa menemuinya. Tidak harus sakit atau menyakiti.
Hal mati itu sangatlah nikmat dan menyenangkan. Karena kematian itu sesungguhnya menyatunya kembali jiwa kita pada dzat sebelumnya. Bukankah ketika kita belum lahir ke dunia ini, apalagi belum beranjak menjadi manusia dewasa yang mengerti baik dan buruk, ilmu dan akal, miskin dan kaya, senang dan duka, bukankah hal itu tidak pernah kita rasakan sebelumnya? Itulah karena kita berada dalam dzatnya, yang teramat tentram dan tidak terusik oleh sesuatu dan apa pun.” urainya.
“Bukankah kematian itu banyak orang yang tidak mengharapkannya?” ujar Ki Pringgoboyo.
“Ya,” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak, “Karena mereka tidak paham dan mengerti akan kematian.”
“Mungkin mereka takut mati karena terlalu sayang pada istri, anak‐anak, dan jabatannya?” Ki Bisono angkat bicara, “Sehingga dirinya diliputi rasa takut akan meninggalkan orang‐orang yang dicintainya, serta harta benda dan kedudukannya. Akhirnya mati itu dibuatnya menjadi sesuatu yang menakutkan dan menyakitkan, Syekh.”
“Andika tidak salah, Ki Bisono.” Syekh Siti Jenar menyapa wajah Ki Bisono dengan sorot matanya yang teduh dan tenang. “Terlalu mencintai kehidupan duniawi, yang bersifat fana dan sejenak. Lalu mereka lupa pada kehidupan hakiki, kehidupan yang sesungguhnya, setelah melewati pintu mati. Padahal kematian itu hanyalah sebuah pintu menuju keabadian yang didalamnya bisa berbalut dengan kenikmatan, penderitaan, kesedihan, tawa, duka, nestapa, itu semua tergantung kita menanamnya pada kehidupan sebelumnya, yaitu di dunia ini. Hasil pekerjaan apa pun yang pernah kita perbuat di dunia fana ini akan kembali kita tuai dan nikmati di alam sana. Bisa bermacam‐macam. Namun bagi kita yang mempelajari hamamayu hayuning bawana tidaklah seperti itu. Apalagi kematian itu bukanlah suatu hal yang menakutkan apalagi menyakitkan, tetapi kematian itu sesuatu yang teramat indah dan menyenangkan. Jika mereka tidak bisa menemui ajal kapan pun dan dimana pun, tetapi kita sebaliknya.”
“Bisakah kita menentukan ajal sendiri? Setidaknya mengetahui datangnya ajal?” tanya Ki Bisono. “Tentu saja. Karena kita berbeda dengan orang kebanyakan yang tidak mengetahui sama sekali akan ilmu
hamamayu hayuning bawana.” Syekh Siti Jenar menghela napas sejenak, “Bukankah telah saya katakan bahwa ketika kita berada pada tahapan ma’rifat semuanya menjadi tampak. Lalu kita berada dalam akrab. Setelah itu barulah manunggaling kawula gusti.”
“Ya, saya telah merasakannya pada tahapan ma’rifat. Semuanya jadi tampak, tetapi saya kesulitan menuju tahapan akrab dan manunggaling kawula gusti.” Kebo Kenongo berucap, “Meski pun demikian saya sedang berupaya menuju ke tahap yang ingin saya capai.”
“Itu pasti akan tercapai, Ki Ageng Pengging. Selama kita tidak berhenti berusaha.” terang Syekh Siti Jenar. “Syekh, saya ingin kembali menanyakan tentang sabda alam tadi.”
“Silahkan, Ki Chantulo!”
“Maksud dari berita kematian itu seperti apa? Bukankah kita semua pasti akan mati?”"Benar, Ki Chantulo. Namun maksudnya disini ada keterkaitan dengan Kerajaan Demak. Kematian yang dimaksud disini terkait dengan para penguasa negeri Demak Bintoro.” Syekh Siti Jenar menghentikan bicaranya, seraya jari‐jemari tangannya memainkan untaian mata tasbih, dari mulutnya meluncur dzikir, istigfar, tahmid, tahlil dan tasbih. “Terkait pula dengan persoalan keyakinan, terkait pula dengan kekacauan yang mengancam keamanan dan ketentraman negara, terkait pula dengan banyak persoalan.”