“Ya, benar itu, Ki Benowo.” Joyo Dento menganggukan kepala. “Meskipun saya hanya sebentar berada di padepokan Syekh Siti Jenar, sudah paham betul keadaan di sana. Mereka tidak memiliki ambisi untuk menjadi apa pun di dunia ini. Saya yakin mereka punya anggapan bahwa dunia ini tidak berarti apa‐apa jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa yang sedang mereka rasakan pada saat ini.”
“Tidak masuk akal!” Loro Gempol garuk‐garuk kepal. “Bukankah orang menjadi sakti dan menuntut ilmu itu demi kekuasan, harta berlimpah, dan mendapatkan perempuan‐perempuan cantik?”
“Sudahlah, Gempol! Kita tidak perlu ambil pusing dengan mereka. Karena kita bukan mereka, mereka bukan kita. Tujuannya pun berbeda, mereka mendapatkan ilmu demi tercapainnya ma’rifat dan kemanunggalan dengan Gusti. Sedangkan bagi kita itu semua tidak mendapatkan tempat dihati, yang harus kita dapat adalah kekuasaan negeri Demak Bintoro.” tandas Kebo Benowo.
“Benar, sangat jernih pemikiran andika, Ki Benowo.” Joyo Dento mengacungkan jempolnya.
Matahari senja di langit sebelah barat tampak menyipratkan warna merah, mengubah putihnya awan menjadi jingga. Seakan‐akan cipratan darah di atas serpihan kain putih.
Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo, Ki Pringgoboyo, Ki Ageng Tingkir dan para murid lainnya menyaksikan peristiwa itu dari ketinggian tangga yang menuju padepokan Syekh Siti Jenar.
“Seperti suatu pertanda, Ki Bisono?” tatap Ki Donoboyo pada rekannya.
“Namun pertanda apakah gerangan jika memang itu sebuah pertanda?” Ki Bisono mengerutkan dahinya. “Saya kira itu hal biasa, Ki.” Ki Pringgoboyo seakan tidak tertarik dengan fenomena alam tersebut.
“Benar,” Ki Ageng Tingkir menimpali, namun sejenak dahinya mengkerut. “Meskipun ini sebuah kejadian biasa, bahwa setiap senja matahari akan menyipratkan warna jingga? Tetapi ada hal yang aneh….”
“Maksud, Ki Ageng Tingkir?” Ki Bisono menatap. “Seperti sebuah pertanda.”
“Pertanda?” para murid Syekh Siti Jenar serempak bertanya, jiwa dan pikirannya terhanyut oleh perkataan Ki Ageng Tingkir.
“Tafsirkanlah dengan batin, sahabatku.” Ki Ageng Tingkir kembali menatap langit jingga.
Sejenak tidak lagi ada yang berbicara, lalu semuanya mengangkat kepala mendongak ke langit. Mata dan batinnya mulai terusik untuk menoba mentafsirkan fenomena alam yang sedang terjadi.
Raga mereka seakan‐akan tidak merasakan hembusan angin senja itu, semuanya berdiri laksana patung. Jasad mereka sama sekali tidak bergeming dari tempatnnya berdiri, namun jiwa dan rasa menyatu bersama batin, seraya berusaha keras membuka tabir dan membaca alam. Mereka memiliki satu tujuan mencoba menafsirkan dan menterjemah ilmu hamamayu hayuning bawana, setelah berupaya memakmurkan bumi, maka jiwa menyatu
dengan bumi. Sukma meresap dengan alam, batin menembus setiap serpih dan gerak, yang ada di alam raya. Pertautan antara alam raya dan ruh.
“Ya, rasanya ini benar, Ki Ageng Tingkir.” Ki Bisono memecah keheningan.
“Begitu juga yang saya rasakan, Ki Bisono.” Ki Ageng Tingkir menarik napas dalam‐dalam, jasadnya mulai merasakan lagi semilir angin pegunungan. Pertautan jiwa dengan alam telah kembali pada raganya masing‐ masing.
“Meskipun kita bisa merasakan belumlah bisa mentafsirkan tentang pesan yang alam sampaikan.” tambah Ki Ageng Tingkir.
“Benar, Ki Ageng Tingkir.” Ki Chantulo menarik napas dalam‐dalam. “Meski sukma kita sanggup berkomunikasi dengan alam, bertaut, dan bergumul. Rasanya sulit untuk meterjemah dan menafsirkan sabda alam?”
“Padahal kita tahu maksud alam dengan kabaran dan berita yang dibawanya?” tambah Ki Donoboyo, “…itu sebuah pertanda buruk. Namun dalam hal ini kita sangat kesulitan untuk mengurai pesan tadi.”
“Meski kita tidak bisa mengurai pesan yang disampaikan alam, yang penting kita paham pada pesan yang disampaikannya.” tukas Ki Bisono, “Disamping kita pun sudah sanggup mengamalkan ilmu hamamayuning bawana yang diajarkan Syekh Siti Jenar. Kekurangan kita kembali pada diri kita sendiri, karena tahapan kita belumlah bisa menyamai guru kita Syekh Siti Jenar.”
“Ya, walau pun beliau sangat murah hati untuk memberikan ilmu apa saja yang kita pinta.” tambah Ki Ageng Tingkir, mulai melangkahkan kaki pelan, disampingnya Ki Bisono dan Ki Chantulo, yang lainnya mengikuti dibelakang. “Hanya kita yang menerimanya ternyata berat untuk mengamalkan dan menguasainya, meski pun kita secara bertahap dan berangsur‐angsur sanggup menggenggamnya.”
“Tidak ada salah, Ki Ageng Tingkir. Jika sekalian dalam pertemuan hari ini di aula padepokan fenomena alam yang kita lihat tadi, juga pesannya kita kemukakan kepada Syekh Siti Jenar.” ujar Ki Donoboyo.
“Saya setuju, Ki.” Ki Chantulo mengangguk seraya mengacungkan ibu jarinya.
“Saya juga.” begitu pun Ki Pringgoboyo dan yang lainnya menyetujui, seiring dengan langkah kakinya yang dipercepat menuju aula padepokan.
Matahari semakin merendah, perlahan menyelinap di balik punggung gunung dengan warnanya yang semakin memerah.
Para murid Syekh Siti Jenar satu persatu mulai memasuki aula padepokan, dan mengambil tempat duduk masing‐ masing bersila di atas tikar pandan yang terhampar.
“Sebentar lagi senja berganti malam.” ujar Syekh Siti Jenar, matanya menyapu setiap wajah yang duduk bersila memenuhi aula padepokan. “…warna jingga, merah darah yang menciprat di antara serpihan awan pun akan hilang…semuanya ditelan gelap malam. Tanpa cahaya, tanpa ada redup, tanpa ada remang, sama sekali dalam gelap tidak akan pernah ada yang terlihat setitik bentuk pun. Kecuali hanya warna pekat yang disebut gelap gulita.”
“Sungguh hebat beliau, Ki Ageng Tingkir?” Ki Bisono berbisik pada Ki Ageng Tingkir yang duduk disampingnya.