Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat page 34

Sunan Giri hanya berbagi tatap dengan para wali, termasuk Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Drajat, dan Sunan Gunung Jati. Mereka memahami setiap maksud perkataan Sunan Giri, namun tidak ada yang mengusik isak tangis Raden Patah meski hanya sepatah kata penghibur.

“Mereka mudah dihasut karena miskin…” isak Raden Patah, “…bukankah menurut laporan yang saya dengar tidak ada lagi rakyat miskin dan menderita…seandainya itu masih ada artinya…telah berdosa dan menyia‐nyiakan amanah…”

Matahari mulai menyelinap di balik bukit Desa Kendharsawa, awan tipis berlapis‐lapis laksana serpihan sutra merah. Angin senja bertiup sepoi‐sepoi mengusik setiap daun dan ranting kering, selanjutnya jatuh di atas tanah, tanpa daya.

Sorot mata Ki Chantulo tidak beranjak dari jatuhnya daun dan ranting kering di hadapannya. Lalu duduk dan memungutnya.

“Ranting dan daun kering, rupanya usiamu telah berakhir senja ini.” perlahan bangkit, seraya mengangkat kepalanya, tatapan mata menyapu awan jingga berlapis dan berarak laksana kereta kencana. “Betapa indah, taqdir kepergianmu diiringi warna keemasan….”

“Ya, sangat indah kematian daun dan ranting kering ini…” bisik Ki Donoboyo yang berdiri disampingnya. Tatapan matanya tidak beranjak dari tingkah laku teman seperguruannya. “Mungkin itulah yang dikatakan menyatunya kembali dengan dzat yang maha kuasa?”

“Mungkin?” tatap Ki Chantulo. Lalu melangkah pelan menuju padepokan Syekh Siti Jenar, Ki Donoboyo mengiringi.

Di halaman padepokan Syekh Siti Jenar sedang bercakap‐cakap dengan Kebo Kenongo. Kebo Kenongo seakan‐ akan larut pada setiap perkataan dan nasehat gurunya, terkadang berkali‐kali mengangguk‐anggukan kepalanya.

“Syekh, manunggaling sifat Allah ternyata bisa dibuktikan. Hingga saya mengerti dan memahami…” ujar Kebo Kenongo, “…bahkan ma’rifat pun kini mulai bisa saya capai. Ternyata dalam pencapaian ini tidak harus melalui tahapan yang dulu pernah Syekh ungkapkan.”

“Bukankah saya pernah mengatakan, menuju ma’rifat tidak perlu melalui tahapan syariat, hakikat, thariqat, lantas ma’rifat. Jika demikian berarti hanya orang yang beragama Islam saja yang bisa. Mungkin dalam agama hindu atau budha yang sebelumnya Ki Ageng Pengging ketahui tidak akan menemukan tahapan itu. Bisa saja namanya berbeda, tetapi tujuannya sama.” Syekh Siti Jenar menyapu wajah Kebo Kenongo dengan tatapan matanya. “Saya kira semua agama memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mencapai dan menggapai dzat Yang Maha Kuasa. Yang membedakan semuanya hanyalah tata caranya, jalan, dan nama‐nama proses pencapainya.”

“Ya,” Kebo Kenongo tersenyum, “Pencapaian itulah yang memerlukan proses yang cukup lama dan panjang. Hingga terkadang orang merasa putus asa…”

“Putus asa, penyebab petaka. Itu tidak perlu terjadi,” terang Syekh Siti Jenar, “Untuk menghindari keputusasaan dalam hal pencapaian diperlukannya guru yang selalu membimbing dan mengarahkan.”

“Benar, supaya tidak kesasar dan gila?”

“Ya, mungkin kata lain sesat. Orang akan menyatakan sesat atau kesasar pada orang lain, karena menurut ilmu dan pengetahuan yang dia milki bahwa jalan menuju Desa Kendharsawa hanya satu. Jalan yang biasa Ki Ageng Pengging lalui beserta orang kebanyakan. Padahal setahu saya ada banyak jalan menuju Desa Kendharsawa, bisa memutar dulu ke Utara, bisa berbelok dulu ke Selatan, bisa juga mengambil jalan pintas.” urai Syekh Siti Jenar, “Salahkah jika orang yang berpendapat harus berlok ke Utara atau ke Selatan, bahkan mengambil jalan pintas? Jelasnya tidak pernah mengambil jalan yang biasa dan diketahui umum. Salahkah?”

“Saya kira tidak,” “Mengapa?”
“Karena sudah tentu semuanya akan sampai ke Desa Kendharsawa. Hanya waktu sampainya yang berbeda, ada yang cepat, lambat, dan alon‐alon.”

“Itulah maksud saya, Ki Ageng Pengging.” ujar Syekh Siti Jenar. “Nah, yang diributkan orang kebanyakan soal perbedaan jalan itulah. Sehingga memicu pertengkaran, demi mempertahankan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya agar diikuti orang lain. Padahal setiap orang memiliki pemahaman dan pendalaman, juga maksud yang berbeda, meski sebenarnya punya tujuan sama.”

“Maksudnya?”

“Bukan tidak tahu jalan umum menuju Desa Kendharsawa, tetapi berbelok ke Selatan karena punya maksud menemui dulu kerabat. Jalan yang di tempuh lewat Utara, karena ingin membeli dulu hadiah untuk teman di Kendharsawa. Sampaikah mereka semua pada tujuan? Desa Kendharsawa?”

“Sampai?”

“Mengapa harus bertengkar dan saling menyalahkan?” “Karena jalannya tidak diketahui umum,”
“Haruskah umum selalu tahu? Haruskah umum memberikan kesimpulan bahwa jalan Utara dan Selatan sesat?” “Tidak,”
“Mengapa?”     “Karena pasti sampai.”
“Kenapa pula dipertengkarkan?”

“Bertengkar karena tidak saling memahami akan persoalan yang sesungguhnya.”

“Nah, itulah Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar melangkah pelan, “Makanya Islam mengajarkan jika di antara kita terjadi perbedaan paham sebaiknya dikembalikan pada alquran dan assunnah. Semua perbedaan pendapat dan pemahaman bisa diselesaikan dengan cara musyawarah. Tidak semestinya melakukan tindakan yang tidak diridhoi Allah, apalagi menciptakan laknat. Bukankah Islam mengajarkan bahwa kita harus selalu menebar rakhmat, hamamayu hayuning bawanna? Seandainya orang tadi belum mengenal Desa Kendharsawa, maka bisa dikatakan tersesat. Salah jalan. Jika salah jalan karena ketidaktahuan itulah yang sesat.” urainya.

Share this: