Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat page 20

“Syekh Siti Jenar telah mengacaukan keadaan rakyat negeri Demak Bintoro, Kanjeng.” “Maksud, Ki Demang?” Sunan Giri mengerutkan dahinya.

“Namun sebelumnya saya ingin tahu dulu.” “Tentang apa?” “Apakah Syekh Siti Jenar juga seorang wali seperti anda?”

“Bukan! Dia hanyalah sosok yang tidak jelas asal usulnya. Juga ilmu yang didalaminya entah dari mana sumbernya.”

“Tapi bukankah dia juga seorang ulama yang memiliki ilmu tinggi?”

“Mungkin saja, Ki Demang. Tetapi dia bukan wali seperti saya dan yang lainnya. Selain asal usulnya tidak jelas, dia juga mempelajari ajaran Islamnnya entah dari mana?”

“Berkaitan dengan itulah yang kini meresahkan dikalangan rakyat negeri Demak Bintoro, Kanjeng.”

“Maksud, Ki Demang?” Sunan Giri menatap tajam wajah Demang Bintoro, dahinya dikerutkan. “Apakah Syekh Siti Jenar membuat ulah?”

“Kemungkinan besar itulah yang sedang terjadi, Kanjeng.” “Tolong jelaskan, Ki Demang! Apa yang terjadi?”
“Syekh Siti jenar telah menyebarkan ajaran sesat, Kanjeng.” “Ajaran sesat?” Sunan Giri terperanjat.
“Benar,”

“Maksud Ki Demang ajaran sesat seperti apa?”

“Kehidupan ini adalah kematian…kematian adalah keabadian….” “Lalu?”
“Lantas mereka banyak yang melakukan bunuh diri. Karena punya anggapan bahwa kehidupan ini adalah penderitaan. Buktinya mereka banyak yang miskin dan menjadi gelandangan. Sedangkan kematian itu adalah indah dan menyenangkan.” Demang Bintoro menghela napas, “Mereka punya anggapan dengan jalan kematian bisa terlepas dari semua penderitaan dan kesengsaraan…”

“Celaka!” Sunan Giri menepuk keningnya.

“Sehingga banyak yang berteriak‐teriak seperti orang gila mencari kematian dan keindahan abadi yang diharapkannya. Lalu bunuh diri…” tambah Demang Bintoro. “Saya pun datang ke mesjid Demak dari kademangan tidak lain hanya ingin menyampaikan kabar ini kepada para wali.”

“Ini merupakan hal yang sangat serius yang bisa mengancam ketentraman dan keamanan negeri Demak Bintoro.” Sunan Giri bangkit dari duduknya, lalu matanya menatap para wali lain yang sedang melakukan wirid.

Dipanggilnnya mereka untuk berundingsejenak. “Jangan dulu pulang Ki Demang, andika harus menyampaikan kejadian ini pada para wali.”

“Baiklah, Kanjeng.” Demang Bintoro menganggukan kepala, seraya menatap para wali yang mulai duduk berkeliling di tengah masjid sesuai permintaan Sunan Giri.

‘Bagaimana pun juga aku harus menghadap Ki Ageng Pengging. Meskipun dia tidak berambisi untuk menjadi penguasa negeri Demak Bintoro. Namun aku tidak rela jika bekas para abdi Majapahit berada dibawah bayang‐ bayang kekuasaan Raden Patah.’ ujar hati Joyo Dento, seraya tangannya menggenggam tali kendali kuda yang ditungganginya, berjalan pelan mendekati padepokan Syekh Siti Jenar.

‘Siapa tahu Ki Ageng berubah pikiran mendukung perjuangan ini, apalagi jika Syekh Siti Jenar turun tangan untuk membantu. Aku yakin pemberontakan ini tidak akan terlalu berat, karena mereka orang‐orang sakti dan cerdas. Jauh berbeda dibanding dengan Kebo Benowo mantan rampok bego, hanya punya ambisi semata dan kekuatan yang belum tentu bisa menandingi para wali.’ Joyo Dento menghentikan langkah kuda, lalu dikatnya pada sebuah pohon di tepi jalan. ‘Tunggu saja kamu disini kuda. Karena tidak mungkin sanggup menaiki jalan yang menyerupai tangga. Biar aku berjalan kaki saja untuk menemui mereka.

Joyo Dento meluruskan pandangannya ke depan, usai mengikat kuda tunggangannya. Lalu melangkah pelan, menaiki jalan yang dipapas menyerupai tangga.

‘Banyak juga jumlah anak tangga ini,’ tangannya menyeka keringat yang mulai membasahi keningnya. ‘…tapi akhirnya aku sampai juga dipuncak…eh…ternyata masih ada jalan lurus membentang menuju padepokan.’ Joyo Dento berhenti sejenak menikmati sejuknya udara pegunungan dan hijau ranumnnya dedaunan, serta pemandangan puncak gunung yang tersaput mega putih.

“Indah!” gumamnya. “Tempat ini di tata sangat bagus, membuat orang kerasan. Kanan kiri jalan dihiasi oleh pepohonan hijau, rerumputan…Syekh Siti Jenar menyukai keindahan dan keasrian alam.”

Joyo Dento menghentikan langkahnya di depan pintu pagar padepokan, “Sampurasun!”

“Masuklah Joyo Dento!” terdengar suara yang menyebut namanya, sedangkan wujudnnya entah dimana.

“Syekh Siti Jenarkah yang memanggil saya?” Joyo Dento memutar pandanganya, suara itu seakan‐akan datang dari segala arah. “Bukankah aku ini sedang berada di depan pintu pagar padepokan?” gumamnnya.

“Benar,”

“Baiklah.” Joyo Dento membuka pintu pagar, seraya berdiri di depan pintu padepokan dan mendorongnya pelan. “Kenapa didalam tidak ada orang? Lantas Syekh Siti Jenar memanggil saya dari mana?”

“Bukalah mata hati andika, Dento!”

“Ki Agengkah itu?” Joyo Dento membelalakan matanya, menelisik ruang kosong, di depannya hanya terdapat hamparan tikar.

“Benar, ini saya.”

Share this: