“Itulah yang harus kita ciptakan. Strategi pertama untuk menggoncang keaadaan negara. Setelah ini berhasil dan di dengar beritannya oleh para penguasa negeri Demak Bintoro, maka pertama‐tama mereka akan mencari tahu penyebabnya.” ujar Joyo Dento.
“Mungkinkah mereka akan menangkap kita sebagai penghasut?” tanya Loro Gempol. “Sangat tidak mungkin, Ki.” jawab Joyo Dento yakin.
“Kenapa? Bukankah kita penghasutnya?” timpal Kebo Benowo.
“Karena kita bukan menghasut tapi berbicara berdasarkan kenyataan. Mereka pun tidak mudah menuduh kita sebagi pengasut, dalam menciptakan kekacauan di negeri Demak Bintoro tanpa adanya bukti yang kuat.” terang Joyo Dento.
“Benar juga, Dento.” Kebo Benowo menganggukan kepala.
“Jika keadaan negara sudah kacau balau, rakyat tidak percaya lagi pada penguasa, maka mereka akan sibuk. Dalam keadaan seperti itulah kita mengadakan tindakan.” Joyo Dento mengepalkan tangannya.
“Melakukan kudeta?” celetuk Loro Gempol.
“Apa mungkin kita mampuh menggulingkan kekuasaan Raden Patah?” kerut Kebo Benowo. “Karena kekacauan seperti ini tidak seberaba, jika dibanding dengan kekuatan negara Demak Bintoro yang sesungguhnya. Lalu kita juga harus berkaca, apa mungkin kekuatan kita sudah cukup untuk melakukan penyerangan?”
“Apa salahnya jika kita mencoba? Siapa tahu menang.” tambah Loro Gempol seraya menggenggam gagang goloknya.
“Benar, kita mesti mencoba dan berusaha. Untuk mengukur kekuatan kita, sudah semestinya begitu.” terang Joyo Dento. “Namun dalam tindakan percobaan kita harus menciptakan strategi penyerangan yang berbeda. Agar kita pada waktunya tidak konyol dan membahayakan diri sendiri.”
“Jika demikian ijinkan saya menyiapkan pasukan untuk menyerbu Demak Bintoro, Ki Benowo.” Loro Gempol Bangkit dari duduknya, langkahnya berat dan pasti.
“Tunggu dulu, Gempol!” Kebo Benowo berteriak.
“Kenapa mesti menunggu lagi? Bukankah kita akan mencoba kekuatan?” langkah Loro Gempol terhenti di depan pintu.
“Benar, Ki Gempol. Namun ingatlah yang saya katakan tadi. Meski dikalangan rakyat miskin sedang terjadi kekacauan, namun itu belum seberapa.” terang Joyo Dento. “Kekacauan tadi hanya bersifat lokal, sangat kurang berpengaruh terhadap stabilitas keamanan negeri Demak Bintoro. Sebaiknya sebelum melakukan penyerangan sebarkan dulu kekacauan tadi hingga merebak seantero negeri Demak Bintoro.” urainya.
“Benar, Gempol. Apa yang dikatakan Joyo Dento sebaiknya diikuti, karena dia sudah saya angkat sebagai penasihat.” ujar Kebo Benowo, seraya menepuk bahu Loro Gempol.
“Baiklah jika itu perintah Ki Benowo.” Loro Gempol menganggukan kepalanya, seraya kembali ke tempat duduknya.
“Baguslah jika andika setuju.” Kebo Benowo tersenyum bahagia, lalu melirik ke arah Joyo Dento, dalam benaknya menaruh berjuta harapan demi cita‐citanya menggenggam kekuasaan di negeri Demak Bintoro. “Apa rencana berikutnya, Dento?”
“Baiklah, kita menyusun strategi berikutnya.” Joyo Dento menempelkan jari dikeningnya seakan‐akan berpikir sangat keras.
“Syekh, rasanya sangat berat untuk menempuh jalan ma’rifat.” Kebo Kenongo nampak tidak ceria. “Ya, tentu saja.”
“Mungkinkah saya harus bertahap? Menurut tahapan ilmu, Syekh?”
“Tidak selalu, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar perlahan bangkit dari duduknya. “Bukankah saya menyarankan jika seandainya andika kesulitan mengikuti ilmu Islam, hendaknya ikutilah ajaran agama yang andika anut.
Bukankah andika tinggal satu atau dua langkah lagi menuju ma’rifat, setelah itu akrab. Orang yang akrab dengan Allah itulah seperti yang pernah saya uraikan sebelumnya.”
“Ya,” Kebo Kenongo menggeleng, “Itu dibicarakan sangatlah mudah, Syekh. Namun untuk melaksanakannya terasa berat, dan sulit untuk membuka tabirnya. Jika sekali saja tabir itu sudah terbuka tentulah berikutnya akan lebih mudah.”
“Benar,” Syekh Siti Jenar terdiam sejenak, matanya yang sejuk dan tajam beradu tatap dengan Kebo Kenongo. “Ya, hanya Sunan Kalijaga yang bisa…” gumamnya.
“Sunan Kalijaga?”
“Tidak perlu dipikirkan! Apalagi mempertanyakannya.” Syekh Siti Jenar kembali ke tempat duduknya.
“Kanjeng Sunan Giri, tahukah anda tentang Syekh Siti Jenar?” tanya seorang jemaah paruhbaya, usai melaksanakan sholat zuhur di masjid Demak.
“Ya,” Sunan Giri menatapnya, “Memang kenapa dengan Syekh Siti Jenar, Ki Demang?” “Dia telah meresahkan.” jawab Ki Demang.
“Meresahkan?” “Ya,”
“Memang apa yang telah dia perbuat, Ki Demang?”