“Benar, maksud saya itu.” ujar joyo Dento.
“Maksud andika jelas salah, Dento! Tidakah andika membayangkan jika kita merampok rakyat, mengganggu rakyat, sebaliknya mereka akan lebih simpati pada Sultan.” sela Loro Gempol.
“Tentu, jika kita salah dalam melakukan tindakan.” terang Joyo Dento. “Saya meskipun sehari‐hari berada di pasar dan melakukan perbuatan sabung ayam, hanya untuk melampiaskan hobi saja. Andika belum paham jika saya dulu pernah mengabdi di Kadipaten Majapahit. Bahkan saya pun banyak belajar tentang politik dan ketatanegaraan. Namun orang‐orang Majapahit kini tidak mau lagi memperlihatkan diri dan merasa antipati terhadap Raja Demak Bintoro, karena membaca kekuatan sendiri. Jika melakukan hal tadi berarti akan ditangkap, termasuk Ki Ageng Pengging, beliau lebih memilih hidup menjadi seorang petani, dengan nama lain.”
Mendengar uraian Joyo Dento yang membuka jatidirinya dan mengurai keahliannya, Kebo Benowo, Loro Gempol, Lego Benongo, juga seluruh peserta sidang pada kesempatan itu terkagum‐kagum.
“Pantas saja, andika berbeda.” Kebo Benowo menggelengkan kepala. “Jika demikian lanjutkanlah rencana dan dasar pemikiran andika. Andika mulai hari ini saya angkat sebagi penasehat saya dan yang lainnya.”
“Terimakasih, Ki Benowo.” Joyo Dento menghela napas, “Saya sebetulnya sejak dulu mencari teman dan orang yang ingin melakukan pemberontakan, sekaligus penggulingan kekuasaan terhadap Raden Patah. Namun kini saya baru menemukan orang yang benar‐benar punya niat dan tujuan yang sama dengan saya. Jadi tidak ada salahnya jika saya pun mendukung gerakan ini.”
“Kita tidak salah bergabung, Dento.” ujar Kebo Benowo.
“Hanya sayang, yang semestinnya Ki Ageng Pengging yang harus maju dan bergabung dengan kita sama sekali tidak tertarik. Ki Ageng Pengging sesungguhnya memiliki darah biru yang sangat kuat, karena beliau keturunan raja Majapahit.” Joyo Dento berhenti sejenak, “Namun meski pun demikian andikalah yang ternyata berani maju, Ki Benowo. Tidak ada salahnya, saya akan mendukung. Hanya dalam hal ini kita harus punya strategi yang tepat. Seperti yang saya uraikan pertama kali.”
”Ya, tentang pembicaraan semula. Lanjutkan apa rencana tadi?” pinta Kebo Benowo. “Baiklah,” ujar Joyo Dento.
”Dengarkan para pengemis!” teriak Kebo Benowo, matanya menyapu para pengemis yang bersila di pinggir jalan menuju pasar. “Kenapa andika semua mesti jadi pengemis? Tidak inginkah hidup mewah seperti para penduduk kota Demak Bintoro? Tidak inginkah kalian menjadi orang kaya, seperti para pejabat negara? Bukankah mereka itu manusia seperti kita? Harus sadar pula bahwa kita pun memiliki hak yang sama seperti mereka. Tidak sadarkah jika para pejabat Negeri Demak telah mendzalimi kalian semua? Membiarkan kalian terlantar dipinggiran jalan. Sementara mereka bersenang‐ senang di pusat kota Demak Bintoro. Tidak sadarkah bahwa mereka telah melupakan kita selaku rakyat? Mereka telah menelantarkan kita dalam lingkaran kemiskinan dan penderitaan. Kalian harus paham akan semua itu. Sesungguhnya hak kalian telah dirampas oleh mereka.”
“Jadi kami mesti bagaimana, Ki? Sedangkan kami pun tidak ingin menjadi orang miskin.” ujar seorang pengemis paruhbaya.
“Ingatlah, bahwa kalian memiliki hak yang sama seperti para penguasa negeri ini. Mintalah hak kalian!” ujar Kebo Benowo.
“Tidak mungkin? Mustahil keinginan kita dikabulkan oleh para penguasa dzalim yang tidak peduli akan nasib rakyatnya, yang miskin seperti kami.” ujar si pengemis paruhbaya.
“Jika tidak mungkin menurut kalian, tidak perlu menyesal dengan nasib yang dialami. Karena kehidupan dunia ini hanyalah sekejap, setelah itu kita akan mati. Untuk itu biarkanlah mereka itu menikmati hidupnya sebagai penguasa, karena mereka hanyalah mayat‐mayat hidup yang menunggu kematian. Sedangkan kematian merupakan pertemuan kita dengan Sang Pencipta, untuk menemui kenikmatan yang abadi.” urai Kebo Benowo.
“Benarkah kematian itu merupakan kenikmatan yang abadi dibandingkan dengan para penguasa yang sekarang sedang menikmati kesenangan?” kerut pengemis paruhbaya.
“Benar, karena mereka pun akan mati. Setelah mati maka ditangisi oleh keluarganya, lalu harta yang mereka agung‐agungkan ditinggalkan untuk diperebutkan oleh keturunannya. Jadi apa artinya harta kekayaan juga kekuasaan. Toh, kita pun akan mati dan meninggalkan semua kesenangan duniawi yang bersifat sekejap.
Bayangkanlah kesenangan setelah kematian. Bukankah nenek moyang kalian tidak pernah ingin kembali ke dunia ini dari kuburnya? Mengapa demikian? Karena mereka menikmati kematian yang teramat menyenangkan dan menentramkan.” Kebo Benowo yang memahami secara dangkal ajaran Syekh Siti Jenar, mencoba mengurai sesuka hatinya.
“Benar juga yang andika katakan, Ki.” si pengemis paruhbaya mengagguk‐anggukan kepala, begitu juga yang lainnya. “Memang kehidupan ini hanyalah samsara, penderitaan dan kesengsaraan. Sedangkan kematian merupakan nirwana, kesenangan yang teramat membahagiakan. Karena bisa melepaskan kita dari berbagai penderitaan.”
”Itu benar, Kisanak.” Kebo Benowo mengacungkan jempolnya. “lihatlah mereka yang tadinya hidup susah, lalu dalam keadaan sakit dan sekarat, akhirnya mati tersenyum. Mereka mengakhiri segala penderitaan dengan kematian. Untuk apa kita hidup di negeri mayat, jika itu bukan mayat yang sesungguhnya. Mereka semua hanyalah mayat‐mayat berjalan, tidak memiliki rasa dan kepekaan. Meskipun punya jabatan dan kekayaan namun tidak bisa mereka nikmati. Maka kematianlah sesungguhnya kenikmatan setiap manusia, yang harus kita raih dan dapatkan.”
“Saya setuju, Ki.” pengemis paruhbaya bangkit. “Jika demikian marilah kita songsong kematian…saya ingin mati!” teriaknya. Selanjutnya diikuti oleh para pengemis lainnya.
Para pengemis bangkit dari duduknnya seraya berjalan‐jalan keliling sambil berteriak‐teriak menyongsong kematian. Ada juga yang nekad membenturkan kepalanya ke atas batu hingga pecah dan meninggal, ada juga yang terus berjalan menunggu ajal tanpa makan.
“Hahahaha…mungkin itulah yang dimaksud Joyo Dento.” Kebo Benowo mengawasi para pengemis sambil tersenyum.