“Lalu prajurit yang dimaksud?”
”Yang dimaksud prajurit tentu saja penyerang, penghancur, perusak, dengan segala tugas yang diembannya.” “Mungkinkah mirip dengan Dewa Syiwa?”
“Mungkin, Ki Ageng.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak. “Sedangkan prajurit Allah yang empat disini pun fungsi dan tugasnya untuk menghancurkan, merusak, dengan tujuan manusia berbalik pada jalan lurus. Mengingatkan kekeliruan yang pernah diperbuat oleh para khalifah bumi. Tujuannya tentu saja menyadarkan, jika yang menedapatkan taufiq dan hidayah. Adzab dan siksa bagi mereka yang tidak pernah mau bertobat dan kembali kepada jalan yang lurus.”
“Lalu siapa yang dimaksud dengan prajurit Allah yang empat tadi, Syekh?”
“Prajurit Allah yang empat itu diantaranya…” Syekh Siti Jenar melangkahkan kakinya perlahan. “…pertama adalah angin. Lihatlah angin yang lembut dan sepoi‐sepoi, namun perhatikan pula jika angin itu mulai dahsyat serta bisa memporak‐porandakan bangunan sehebat apa pun, menghancurkan pohon‐pohon yang tertancap kokoh, menerbangkan segala hal yang mesti diterbangkannya, bahkan menghancurkan sebuah kota atau perkampungan. Lantas ketika angin mengamuk siapa yang bisa membendung dan menghalang‐halangi?”
“Tidak ada, Syekh.”
“Itulah kehebatan prajurit Allah yang disebut manusia, angin pada syariatnya. Padahal angin itu hakikatnnya membawa pesan pada manusia, pada para khalifah bumi, agar menyadari kekeliruan yang pernah diperbuatnya. Manusia yang melakukan keruksakan di muka bumi maka akan kembali pada perbuatannya, akibatnya. Namun dalam hal ini manusia hanya memandang sebelah mata pada hakikat angin. Mereka lebih banyak bercerita dan memandang akan hal yang berbau logika dan penalaran semata, karena itu semua akibat dari keterbatasan ilmu yang dimilikinya. Ilmu yang manusia miliki tidak mencakup berbagai hal, namun terbatas hanya pada bidangnya saja. Sehingga manusia terkadang melupakan Allah yang memiliki lautan ilmu.” urai Syekh Siti Jenar, seraya langkahnya terhenti. Sejenak berdiri di tepi jalan, matanya menyapu tingginya puncak gunung yang diselimuti awan putih yang berlapis‐lapis.
“Bukankah manusia akan selalu merasa pintar jika seandainya berhasil menangani sedikit persoalan saja, Syekh?”
“Itulah manusia. Namun tidak semuanya seperti itu. Tetapi itulah watak orang kebanyakan. Maka jika demikian tertutuplah pintu ilmu berikutnya, terhalang oleh keangkuhan dan kecongkakan yang terselip dalam batinnya.” ujar Syekh Siti Jenar. “Berbeda jika dibandingkan dengan manusia yang batinnya terang. Dia tidak akan pernah berbuat congkak, apalagi sombong, yang bisa membutakan mata hatinya. Sehingga orang seperti itu akan selamanya sanggup memahami segala hal dengan jernih….”
“…sangat sulit, Syekh.” Kebo Kenongo menarik napas dalam‐dalam. “…pantas saja diri Syekh bisa terangkat pada derajat ma’rifat, karena telah sanggup membersihkan batin dari noda‐noda tadi. Mungkin saya sulit mencapai ma’rifat tadi karena batin ini masih dijejali dan dikotori hal‐hal yang membutakan, menghalangi, mengganggu dan merintangi. Pada intinya masih berbau keangkuhan, kesombongan, angkara, rasa iri dan dengki. Namun rasanya
sulit untuk melepaskan hal‐hal tadi, Syekh. Mungkin karena kesulitan itu datang akibat kita berada dalam hiruk pikuk kemewahan duniawi, yang selalu hadir di sisi kiri, kanan, depan, dan belakang kita?”
“…jangan salah, Ki Ageng. Bukankah setiap manusia hidup memerlukan kebutuhan jasadiyah?” timpal Syekh Siti Jenar. “Duniawi adalah kebutuhan lahiriyah, sedangkan menuju ma’rifat adalah proses perjalanan batin menuju akrab.”
“Benar, Syehk. Namun jika gangguan duniawi sangat terlalu kuat, bisa menggelapkan mata batin. Sehingga kita selalu memperjuangkan kepentingan jasadiyah tanpa kendali dan melupakan kebutuhan batinnya. Nah, untuk menyeimbangkan itulah yang sangat sulit.”
“Sebetulnya kita tidak perlu seimbang dulu. Namun itu terlalu berat untuk kebanyakan orang dan tidak mungkin dapat tercapai. Sebab bagi yang telah ma’rifat dan akrab tidak perlu jauh melangkah tinggal mengatakannya, apa yang diinginkan akan datang atau berada dalam genggaman.” terang Syekh Siti Jenar, lantas membuka telapak tangannya dan diacungkan ke langit, lalu dikepalkan. “…lihatlah! Inikah yang Ki Ageng inginkan?”
“Benar, Syekh. Andika selain bisa membaca keinginan batin saya juga dapat membuktikannya hanya dengan mengepalkan tangan.” Kebo Kenongo menggeleng‐gelengkan kepala, seraya memujinya.
“Sudahkah andika menemukan cara yang tepat untuk menguasai Demak?” Loro Gempol menatap wajah Kebo Benowo.
“Meski saya telah berkali‐kali memikirkannya belum juga menemukan cara yang tepat, Gempol.” Kebo Benowo menempelkan telunjuk dikeningnya. Lalu bangkit dari duduknya, menggendong kedua tangannya dibelakang, dahinya berkerut‐kerut, kakinya melangkah pelan. “….bagaimana…cara termudah?”
“Bolehkah saya berbicara?” Joyo Dento mengangkat kepalanya.
“Apa yang akan andika katakan, Dento? Bantulah saya berpikir!” tatap Kebo Benowo.
“Menurut hemat saya, negara Demak Bintoro kini dalam keadaan tenang dan tentram. Namun bukan berarti ketenangan ini tidak bisa diusik.”
“Semua orang tahu! Apa maksud andika!” timpal Loro Gempol meninggi. “Mohon maaf, Ki Gempol. Bukankah saya belum selesai bicara?”
“Lanjutkan, Dento!” ujar Kebo Benowo mengacungkan telapak tangannya, seraya menatap Loro Ge,pol agar memberi kesempatan bicara pada Joyo Dento.
“Negeri Demak Bintoro kini dalam keadaan tenang dan tentram. Sangat sulit bagi kita untuk melakukan pemberontakan apalagi penggulingan kekuasaan. Namun bukan berarti suasana tenang dan tentram ini tidak bisa diubah, menjadi kacau balau dan carut marut.” Joyo Dento berhenti sejenak, matanya merayap mengelilingi ruang pertemuan. Kembali tatapannya tertuju pada Kebo Benowo.
“Maksud andika?” Loro Gempol tidak sabar.
“Maksud saya, untuk merubah suasana tenang dan tentram ini harus menciptakan keadaan sebaliknya.”