Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat page 16

“Yang pernah Syekh baca dari ayat suci Alquran itu? Saya agak lupa.” Kebo Kenongo menempelkan telunjuk didahinya.

“Ketika Kanjeng Nabi Sulaiman meminta kepada para pengagung negaranya untuk memindahkan kursi Ratu Balqis ke istananya. Siapakah yang bisa memindahkan singgasana Ratu Balqis dalam waktu yang sangat cepat, hingga jin Iprit menyanggupi.”

“Ya, saya ingat, Syekh.” Kebo Kenongo tersenyum. “Namun bukankah Jin Iprit itu terlalu lama menurut Kanjeng Nabi Sulaiman, karena dia meminta waktu saat Baginda Nabi bangkit dari tempat duduk maka singgasana akan pindah…”

“Benar, waktu seperti itu lama menurut Kanjeng Nabi Sulaiman. Karena bangkit dari duduk memerlukan waktu beberapa saat. Hingga berkatalah seorang ulama serta mengungkapkan kesanggupannya, yaitu hanya sekejap. Kanjeng Nabi Sulaiman berkedip maka Singgasana Ratu Balqis pun akan berhasil dia bawa. Hanya satu kedipan.” terang Syekh Siti Jenar. “…dan terbuktilah kehebatan ulama tadi.”

“Ya, benar, Syekh.” ujar Kebo Kenongo, “Itulah ilmu Allah. Mana mungkin bisa dicerna dan dipahami dengan keterbatasan berpikir manusia.”

“Tidak semua manusia seperti itu, Ki Ageng.” terang Syekh Siti Jenar. “Itulah manusia kebanyakan, terkadang perkataannya dan pendalamannya dibidang ilmu dangkal. Namun meski pun memiliki kedangkalan berpikir terkadang dalam dirinya mencuat pula rasa angkuh dan sombongnya. Jika hal itu terjadi maka akan gelap untuk meraba dan meraih yang saya maksud.”

“Benar, Syekh. Hanya kejernihan berpikir dan menerima yang bisa membukakan kebodohan dan kekurangan diri kita…” timpal Kebo Kenongo. “Namun dalam uraian tadi apa yang membedakan kehebatan ilmu yang dimiliki oleh Jin Iprit dan Ulama?”

“Tentu saja sangat berbeda.” Syekh Siti Jenar bangkit dari duduknya, seraya menatap langit. “Jin itu makhluk gaib, tidak aneh bagi bangsa mereka terbang, melayang‐layang di angkasa, melesat secepat angin, menembus lubang sekecil lubang jarum, bahkan merubah wujud berbentuk apa pun yang dikehendakinya.”

“Bisa pula tidak terlihat oleh manusia?”

“Sangat bisa. Ya, karena memiliki sifat ghaib itulah. Hanya orang‐orang tertentu saja yang bisa menembus alam  jin. Sebaliknya hanya jin tertentulah yang bisa menampakan diri pada manusia.” terang Syekh Siti Jenar. “Sehebat apa pun bangsa jin tentunya tidak bisa melebihi manusia.”

“Bukankah pada zaman ini banyak pula orang‐orang yang memiliki ilmu jin bahkan mengabdikan diri, karena ingin mendapat kesaktiannya.” timpal Kebo Kenongo. “Para dukun sakti saya rasa tidak terlepas dari kekuatan dan kesaktian atas bantuan bangsa jin yang dijadikan tuannya.”

“Itulah kedangkalan berpikir manusia, Ki Ageng. Mereka tidak melihat asal usul, jika manusia itu makhluk yang paling mulia di banding yang lainnya. Termasuk jin.”

“Jika demikian, Syekh. Berarti kita harus menaklukan jin agar bisa memerintah mereka dan memanpaatkan kekuatannya. Namun apa mungkin kita bisa menaklukan jin?”

“Kenapa tidak mungkin. Bukankah Kanjeng Nabi Sulaiman sendiri prajuritnya terdiri dari bangsa jin, selain binatang dan manusia?”

“Tapi untuk menaklukan bangsa jin tentu saja ilmu kita harus di atas mereka, Syekh?”

“Tentu saja, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar. “Namun jika kita sudah memiliki ilmu dan kesaktian sebetulnya menjadi tidak perlu memiliki dan menaklukan jin. Karena kita bukan raja seperti Kanjeng Nabi Sulaiman, yang memerlukan prajurit dan abdi setia. Untuk dijadikan balatentara dan membangun negara, dengan arsitek‐arsitek yang kokoh. Jin dijaman Nabi Sulaiman di suruh menyelami laut untuk mengambil mutiara, di suruh membangun keraton berlantaikan kaca yang membatasi kolam dibawahnya.”

“Meski bukan raja kita juga butuh prajurit pengawal, Syekh?”

“Saya rasa tidak perlu bangsa jin yang dijadikan prajurit pengawal. Bukankah Kanjeng Nabi Muhammad juga tidak dikawal oleh bangsa jin, namun selalu disertai oleh Malaikat Jibril kemana pun beliau pergi.”

“Lalu haruskah Kanjeng Nabi menundukkan Malaikat agar mengawalnya? Sakti mana dengan jinnya Kanjeng Nabi Sulaiman?”

“Tentu saja Malaikat itu lebih sakti dari bangsa jin. Karena yang mencabut nyawa jin juga Malaikat seperti halnya nyawa manusia. Kanjeng Nabi Muhammad pun tidak perlu menundukan Malaikat, karena dengan sendirinya Malaikat akan di utus oleh Allah untuk menyertai orang‐orang shalih. Apalagi Malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu Allah yang disampaikan kepada Kanjeng Nabi Muhammad.” urai Syekh Siti Jenar.

“Syekh sendiri siapa yang mengawal?”

“Karena saya manusia biasa, bukan nabi dan juga keshalihannya tidak saya ketahui, entahlah. Mungkinkah Allah mengutus Malaikat untuk mengawal atau tidak saya tidak tahu. Yang jelas saya tidak dikawal oleh bangsa jin…” Syekh Siti Jenar kembali duduk bersila.

“Tapi kenapa Syekh memiliki kesaktian?”

“Ya, itu sedikit ilmu yang saya pelajari dari keMaha Besaran Allah. Mungkin yang mengawal saya kemana pun  pergi adalah ilmu yang saya miliki. Sehingga dengan ilmu itu saya pun bisa memanggil prajurit Allah yang empat.” tambah Syekh Siti Jenar.

“Prajurit Allah?” kerut Kebo Kenongo. “Apakah para Malaikat? Kalau di dalam agama saya para Dewa dan Hyang Jagatnata, penguasa triloka.”

”Prajurit Allah bukan Malaikat. Saya tidak akan berbicara tentang para Dewa.” berhenti sejenak, lalu tatapan matanya menyapu wajah Kebo Kenongo.

“Namun yang akan saya bicarakan prajurit Allah. Ingat bukan Malaikat,”

“Kenapa bukan Malaikat? Bukankah Malaikat bisa mencabut nyawa manusia dan bangsa jin yang goib?” tanya Kebo Kenongo.

“Meskipun demikian Malaikat hanyalah makhluk Allah, tidak beda dengan kita. Hanya yang membedakan kita dengan Malaikat, dia adalah goib. Malaikat memiliki keimanan tetap dan tidak pernah berubah, berbeda dengan bangsa manusia dan jin. Namun meski bagaimana pun tetap saja manusia makhluk yang paling mulia, tetapi

Share this: