“Benar juga ya, Ki.” Loro Gempol mengerutkan dahinya. “Namun untuk menghadapi para wali bukankah kita punya guru yang hebat, Syekh Siti Jenar, beliau bisa menghadapi para wali.”
“Andika jangan berpikir seperti itu, Gempol.” Kebo Benowo bangkit dari duduknya. “Karena Syekh Siti Jenar bukan orang yang gila kekuasaan. Mana mungkin dia mau melakukan pemberontakan dan meraih kekuasaan. Syekh Siti Jenar adalah orang yang sangat bersahaja, tidak tertarik pada urusan duniawi apalagi kedudukan dan kekuasaan. Beliau adalah ulama yang telah menyatu dengan Sang Pencipta. Mustahil tertarik dengan hal‐hal yang berbau lahiryah. Karena menurut beliau kesenangan lahiryah hanyalah sekejap, yang paling nikmat adalah ketika beliau berada dalam tahap manunggaling kawula gusti. Bukan begitu? Tentu berbeda dengan kecenderungan kita.” terangnya.
“Baru terpikirkan, Ki.” Loro Gempol membetulkan duduknya. “Namun aki sendiri apakah punya keinginan untuk meraih kekuasaan dan menikmati kesenangan dunia?”
“Tentu saja. Karena saya orang biasa dan seperti halnya orang lain, punya ambisi. Sebab saya bukanlah Syekh Siti Jenar.” ujar Kebo Benowo. “Namun seandainya kita memiliki keinginan seperti andika jelaskan tadi tentunya harus dengan cara lain.”
“Cara lain?” Loro Gempol meletakan telunjuk di keningnya.
“Ya, karena jika ingin memberontak. Kita harus mengukur kekuatan pasukan kita, lalu bandingkan dengan kekuatan Demak. Pikirkan pula tentang logistik kita selama berperang, selain itu ilmu kadigjayaan kita sudah sejauhmana, mungkinkah bisa mengalahkan para wali yang berilmu tinggi?” ujar Kebo Benowo.
“Benar juga, Ki.” Loro Gempol mengangguk‐anggukan kepala.
“Itulah yang mesti kita pertimbangkan sebelum bertindak.” timpalnya. “Kita haruslah berpikir matang jika tidak ingin mati sia‐sia, seperti halnya anai‐anai menyambar api.”
“Jika demikian harus bagaimana caranya, Ki?” Loro Gempol menatap Kebo Benowo, seraya dahinya mengkerut. “Itulah yang mesti kita pikirkan…” Kebo Benowo memijit dahinya.
Keadaan hening sejenak, pikiran mereka menerawang ke alam kejadian yang akan datang. Berbagaimacam cara mereka olah dan cerna, demi tercapainya ambisi kekuasaan.
“Lantas ketika Syekh melayang apa yang terjadi?” tanya Kebo Kenongo.
“Saya bisa melayang karena bisa mengatur berat tubuh.” Syekh Siti Jenar menatap langit, “Lihatlah di sana, Ki Ageng! Mengapa burung itu bisa beterbangan, lalu saling kejar di ketinggian yang tidak bisa kita jangkau karena keterbatasan.”
“Tapi kenapa syekh sendiri bisa meloncati keterbatasan tadi?”
“Sebenarnya bukan saya bisa meloncati keterbatasan, namun kita bisa mengatur batas, menjauh dan mendekatkan.” terang Syekh Siti Jenar.
“Maksud Syekh?” kerut Kebo Kenongo. “Samakah dengan yang saya dengar tentang Isra Mi’rajnya Nabi Muhammad?”
“Ya, namun berbeda.” “Maksudnya?”
“Jika Rasululah Isra Mi’raj dengan kehendak dan kekuasaan Allah. Sedangkan saya tidak.” ujar Syekh Siti Jenar. “Saya kurang paham, Syekh?” Kebo Kenongo memijit keningnya.
“Ya, saya tidak bisa seperti Rasulullah. Sebab saya bukan beliau…” terang Syekh Siti Jenar. “Namun saya bisa menyatu dengan kekuatannya dan dzatnya. Hingga ketika saya menghendaki berada di pusat Negeri Demak dengan sekejap itu bukan persoalan yang mustahil.” tambahnya.
“Benarkah itu, Syekh?” Kebo Kenongo semakin mengkerutkan dahinya.
“Jika Ki Ageng Pengging ingin bukti, maka tataplah saya! Jangan pula Ki Ageng berkedip! Karena kepergian saya ke pusat kota Demak Bintoro bagaikan kedip, kembali pun dihadapan Ki Ageng seperti itu pula. Saya dari pusat Kota Demak Bintoro akan membawa makanan segar.” usai berkata‐kata, samarlah wujud Syekh Siti Jenar, hingga akhirnya lenyap dari pandangan Kebo Kenongo.
“Lha,” Kebo Kenongo menggosok‐gosok kedua matanya. “Benarkah yang sedang terjadi dan kuperhatikan ini?” “Inilah makan segar dari pusat kota Demak Bintoro, Ki Ageng.”
“Lha, aih..aih..!” Kebo Kenongo terperanjat, ketika dihadapannya Syekh Siti Jenar sudah berdiri kembali seraya menyodorkan makanan hangat dengan bungkus daun pisang.
“Itulah yang bisa saya lakukan, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar, seraya duduk bersila di atas hamparan tikar pandan, dihadapannya terhidang dua bungkus makanan hangat yang beralaskan daun pisang. “Sekarang marilah kita makan alakadarnya.”
“Ya,” Kebo Kenongo hanya menjawab dengan anggukan. “Saya tidak sanggup untuk memikirkannya, Syekh? Kenapa andika hanya dalam kedip pergi ke pusat kota Demak Bintroro untuk mendapatkan hidangan makan pagi. Padahal jika kita bejalan dari padepokan ini ke pusat kota Demak memakan waktu satu hari satu malam?”
“Benar, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar mengangguk. “Namun bukankah kita tidak sedang berbicara tentang perjalanan jasad?”
“Maksud, Syekh?”
“Ingatkah Ki Ageng Pengging ketika saya pernah bercerita tentang Kanjeng Nabi Sulaiman AS.?” ujar Syekh Siti Jenar.