“Benar, Syekh.” Kebo Kenongo kembali mengiringi langkah Syekh Siti Jenar. “Padahal tidak hanya Raden Patah yang memiliki darah biru dan sekarang menjadi Penguasa Demak Bintoro. Saya pun masih keturunan Majapahit. Namun saya tidak punya hasrat sedikit pun untuk menjadi penguasa. Tujuan saya bukan itu, tetapi seperti Syekh terangkan tadi.”
“Keinginan lahiryah itulah yang memenjarakan kita menuju ma’rifat. Ruang kosong, antara, jarak, jeda, pemisah, yang merintangi keakraban kita dengan Sang Pencipta.” terang Syekh Siti Jenar. “Perintang tadi berupa semua keinginan lahiryah yang distimewakan oleh nafsu keduniawian, karena ingin berkuasa, ingin kekayaan, dan banyak keinginan. Itu semua yang dinomor satukan. Lahirnya keserakahan.”
“Jika itu yang masuk ke dalam jiwa dan pikiran, hati ini akan terasa gelap.” ujar Kebo Kenongo. “Mana mungkin menuju akrab untuk mendekat pun kita harus mencari cahaya jika tidak tentu membabi buta.”
“Nah, itulah penggoda manusia untuk meraih keakraban dengan Allah. Jernihkan hati, tenangkan jiwa, damaikan gejolak nafsu, merupakan upaya untuk membuka jalan keakraban.” tambah Syekh Siti Jenar. “Manusia terkadang sangat sulit menyusuri jalan yang penuh dengan godaan tadi. Karena dalam dirinya memiliki nafsu yang sangat sulit untuk dikendalikan. Itulah upaya perjuangan menuju keridloannya. Menuju akrab pada Allah. Terkadang manusia hanya sebatas berucap dibibir, bahwa dirinya telah akrab tetapi dalam kenyataannya tidak. Lalu mengakui bahwa saya telah ma’rifat. Sebenarnya ma’rifat bukan sebuah pengakuan, tetapi realitas dalam tahapan akrab. Terbelenggulah dengan ikatan kata‐kata.”
“Ya.” Kebo Kenongo menghentikan langkahnya seiring dengan Syekh Siti Jenar. “Adakah perbedaan antara ma’rifat dengan akrab? Atau memang sama ma’rifat adalah akrab, sedangkan akrab adalah ma’rifat?” tanyanya kemudian.
“Orang yang sudah ma’rifat tentu akrab. Orang yang sudah akrab tentu sudah ma’rifat.” terang Syekh Siti Jenar, jubahnya yang berwarna hitam berlapis kain merah tersibak angin pegunungan.
“Ma’rifat itu sendiri?” kerut Kebo Kenongo.
“Tahu, Mengetahui.” berhenti sejenak. “Namun tidak cukup itu, tentu saja harus diurai dengan maksud dan makna yang terarah. Mengetahui tentang apa? Tahu tentang apa? Tentu saja tentang dirinya dan Tuhannya. Bukankah terkait dengan makna akrab. Sehingga ada istilah kalau ingin mengenal Gustimu, Allahmu, maka harus mengenal dirimu sendiri.” Lanjut Syekh Siti Jenar.
“Saya pernah mendengar, Syekh.” Kebo Kenongo merenung. “Bukankah Tuhan itu lebih dekat dari pada urat leher dan lehernya, bola mata putih dengan hitamnya?”
“Tentu,” Syekh Siti Jenar melirik ke samping. “Namun itu sifatnya umum. Tidak masuk ke dalam makna akrab. Bahkan ma’rifat juga mungkin tidak.”
“Bukankah untuk menuju ma’rifat pun tidak mudah, Syekh? Tetapi ada tahapannya, yaitu Syariat, hakikat, tharikat, dan akhirnya ma’rifat.” ujar Kebo Kenongo.
“Harusnya demikian.” Syekh Siti Jenar memutar lehernya seiring dengan tatapan matanya, tertuju ke puncak pegunungan. “Bukan berarti orang harus memahami tahapan tadi. Karena tanpa memahami tahapan tadi pun orang bisa berada dalam tingkat ma’rifat, disadari atau diluar kesadarannya. Sebab tidak semua orang wajib tahu tentang sebuah istilah, yang penting adalah sebuah pencapaian, lantas bisa merasakannya.”
“Bukankah istilah tadi hanya ada dalam agama Islam yang dianut Syekh sendiri.” tambah Kebo Kenongo. “Sedangkan dalam agama yang saya pahami tentu saja punya nama yang berbeda.”
“Benar,” timpal Syekh Siti Jenar. “Namun tetap maksudnya sama. Hanya sebutannya saja yang berbeda. Sehingga saya tadi mengurai seperti itu.”
“Ya.” Kebo Kenongo menganggukkan kepala.
“Ki, saya sudah berhasil mengumpulkan orang‐orang untuk dijadikan pengikut kita.” ujar Loro Gempol menjatuhkan patatnya di atas kursi rotan.
“Saya juga sama, Ki.” timpal Lego Benongo. “Mau kita apakan mereka, Ki?” “Menurut kalian?” Kebo Benowo balik bertanya.
“Ki, bukankah andika masih keturunan dari raja‐raja yang ada di tanah Jawa?” Loro Gempol menatap wajah Kebo Benowo.
“Siapa turunan raja? Raja rampok yang andika maksud?” Kebo Benowo tersenyum. “Kenapa andika pun berbicara seperti itu, Gempol?”
“Maksud saya, tidak lain mengumpulkan banyak pengikut tidak untuk dijadikan rampok, tapi mereka kita jadikan prajurit yang tangguh.” terang Loro Gempol.
“Jadikan prajurit? Memang andika mau mengadakan pemberontakan pada raja Demak yang sah?” tatap Kebo Benowo.
“Benar, rajanya andika, Ki.” Loro Gempol menganggukan kepala. “Saya jadi patih, sedangkan Lego Benongo sebagai Senapati. Joyo Dento kita angkat sebagai Panglima.” terangnya.
“Andika ini tidakkah sedang bermimpi disiang bolong, Gempol.” Kebo Benowo terkekeh.
“Mengapa bertanya seperti itu, Ki?” Loro Gempol mengerutkan dahinya. “Bukankah andika layak menjadi seorang raja. Kita sudah banyak pengikut. Kita punya kesaktian dan uang, yang belum kita miliki adalah kekuasaan dan wilayah, karena saat ini sedang dikuasai Demak. Tidak ada salahnya jika Raden Patah kita taklukan, berada dalam perintah kita.” urainya.
“Gempol, andika jangan berpikir terlampau jauh.” Kebo Benowo bangkit dari duduknya.
“Kenapa aki selalu berbicara seperti itu. Tidakkah aki yakin pada kekuatan kita, bukankah banyak pengikut, bisa menciptakan uang, dan ilmu yang tinggi.” Loro Gempol meninggi.
“Bukan demikian maksud saya, Gempol.” Kebo Benowo diam sejenak. “Meski kita punya banyak pengikut, menciptakan uang dan emas, serta ilmu tinggi, tentu saja semuanya tidak sebanding dengan kekuatan Penguasa Demak, Raden Patah.