“Gila?” Joyo Dento menghentikan gerakan, tenaganya merasa terkuras. Begitu pula teman‐temannya. “Ilmu apa yang dimiliki si Loro Gempol? Rampok kampungan ini mendadak punya kesaktian yang luar biasa. Seluruh senjata yang kita gunakan untuk mecabik‐cabik tubuhnya, laksana menghantam angin?” mengerutkan keningnya.
“Percaya kalian sekarang dengan kesaktian saya?” Loro Gempol dengan tangan kiri berkacak pingging, tangan kanannya memutar kumis.
“Darimana andika punya ilmu sihir?” tanya Joyo Dento.
“Hahaha…ini bukan ilmu sihir bodoh! Tapi ilmu miliknya orang sakti yang berasal dari Sang Pencipta Alam Semesta.” ujar Loro Gempol. “Percaya kalian sekarang pada saya? Jika percaya dan tidak punya lagi keberanian sebaiknya jadi pengikut saya! Tunduk pada saya!”
“Mana mungkin saya harus tunduk pada andika? Sedangkan saya belum andika kalahkan.” tantang Joyo Dento. “Jadi kalian mau saya musnahkan ketimbang tunduk pada saya?” Loro Gempol menghunus goloknya. “Sebaiknya kita ikuti saja keinginannya.” ujar teman Joyo Dento, meringis ketakutan.
“Benar, Kang. Sebaiknya kita jadi pengikutnya saja ketimbang dihabisi.” bisik yang lainnya.
“Benar juga. Ketimbang kita mati mengenaskan.” jawab Joyo Dento, seraya kakinya mundur beberaba langkah.
“Ayo pikirkan sekali lagi! Saya masih memberi kesempatan pada kalian. Pilih mati atau jadi pengikut saya?” ujar Loro Gempol sembari menyilangkan golok di depana dadanya.
“Kami menyerah saja, Ki.” ujar Joyo Dento serempak.
“Hahaha…bagus. Kenapa tidak dari tadi kalau mau menyerah, untung saja golok ini belum bersarang pada leher kalian.” Loro Gempol kembali menyarungkan goloknya. “Ikutlah kalian ke tempat saya.”
“Syekh, ternyata saya lebih bisa merasakan mendekati Sang Pencipta dengan cara bersemadi.” Kebo Kenongo melangkah pelan di samping Syekh Siti Jenar.
“Karena Ki Ageng Pengging sudah terbiasa dengan cara itu.” ujar Syekh Siti Jenar pandangannya tertunduk ke ujung kaki.
“Benar, seperti Syekh sampaikan. Cara pendekatan dan kebiasaan ternyata tidak mudah untuk dirubah. Namun ketika kita menggunakan jalan yang berbeda ternyata memiliki tujuan sama.” Kebo Kenongo menghela napas dalam‐dalam.
“Kenapa? Ya, karena itulah yang disebut manunggal. Satu.” terang Syekh Siti Jenar, menghentikan langkahnya seraya matanya menatap puncak gunung yang berkabut.
“Benar, Syekh. Orang melakukan tata cara dan ritual dalam wujud pisik yang berbeda namun tujuannya tetap satu. Sang Pencipta.” tambah Kebo Kenongo.
“Satu harapan untuk mendapatkannya. Mendekatkannya, meraihnya, dan manunggal.” terang Syekh Siti Jenar. “Namun belum manunggaling kawula gusti, yang akhirnya wahdatul wujud.”
“Lantas?”
“Mereka mendekatkan diri kepadanya bukan untuk tujuan manunggal, tetapi untuk mengajukan berbagai macam permohonan dan keinginan. Karena mereka lebih mencintai urusan lahiriyah yang cenderung duniawi ketimbang urusan alam kembali, akhirat.” Syekh Siti Jenar melirik ke arah Kebo Kenongo.
“Bukankah ada juga orang yang tidak terlalu tertarik pada urusan lahiriyah saja? Namun mereka menginginkan kesempurnaan hidup dan masuk dalam tahap akrab dengan Sang Pencipta?” kerut Kebo Kenongo, tatapannya mendarat pada wajah Syekh Siti Jenar yang bercahaya.
“Itulah yang jumlahnya sangat sedikit, Ki Ageng Pengging.” lalu Syekh Siti Jenar memberi isyarat dengan jari jemari tangannya. “Kecenderungan orang melakukan pendekatan pada Allah karena mengharapkan sesuatu, atau orang tadi dalam keadaan susah. Ketika mereka merasa senang dan bahagia, lupalah kepadanya.”
“Mengapa, Syekh?”
“Karena tujuan pendekatan mereka untuk meraih dan memohon kebaikan lahiriyah saja.” terang Syekh Siti Jenar. “Ketika merasa sudah terkabul keinginannya, kemudian melupakan Allah.”
“Bukankah tidak semua orang seperti itu, Syekh?” tanya Kebo Kenongo.
“Tidak, hanya hitungannya lebih banyak.” Syekh Siti Jenar melipat jari jemarinya. “Sangat sedikit orang yang punya kecenderungan untuk mengikat keakraban dengan Sang Pencipta. Padahal tahap terkabulnya permohonan mereka bukan karena akrab, tapi dalam upaya mendekat dan kemahamurahannya saja. Jika seandainya mereka sudah merasa akrab dan berada dalam keakraban tidak mungkin melepas ikatannya semudah itu.” urainya.
“Jika sudah akrab saya kira tidak mungkin orang untuk menjauh. Karena untuk mengakrabi perlu upaya mendekatan yang memerlukan waktu tidak sebentar.” Kebo Kenongo mengangguk‐anggukan kepala.
“Ya, maka tahap akrab dengan Allah itulah ketika orang dalam keadaan ma’rifat. Ketika kita tidak memiliki lagi garis pemisah untuk saling bertemu. Kapan pun, dimanapun, tidak ada lagi sekat‐sekat dan ruang kosong sebagai jeda untuk mengakrabinya.” Syekh Siti Jenar menghela napas dalam‐dalam.
“Ya, ya, benar, Syekh.” Kebo Kenongo berkali‐kali mengangguk‐anggukan kepalanya.
“Nah, pada tahap akrab itulah kita meminta apa pun tidak mungkin tertolak. Mana ada keakraban tanpa adanya keterikatan kasih sayang?” Syekh Siti Jenar perlahan melangkah lagi.
“Tentu, Syekh. Saya sangat paham.” Kebo Kenongo terkagum‐kagum dengan uraian Syekh Siti Jenar.
“Keakraban dengan Allah tidak mudah. Namun ketika kita sudah berada dalam lingkarnya tidak mudah pula untuk melepas.” Syekh Siti Jenar berdiri mematung di bawah pohon kenanga.
“Benar, meski saya pun dengan susah payah mendekat untuk meangkrabinya belum juga sampai. Karena upaya saya bukan hanya untuk mendekat dan mengajukan berbagai permohonan. Namun ingin mengakrabinya.” ujar Kebo Kenongo. “Jika dalam keadaan sangat akrab bukankah tidak memohon pun akan diberinya?”