“Kalau boleh, saya menginginkan ilmu yang Syekh miliki. Namun hendaknya Syekh tidak marah terhadap permintaan saya.” Kebo Benowo dengan nada pelan.
“Jika seandainya saya memiliki ilmu maka tidaklah keberatan untuk memberikan. Sudah sepatutnya ilmu itu diamalkan.” jawab Syekh Siti Jenar. “Ilmu jika semakin sering diamalkan dan diajarkan maka akan semakin bertambah. Namun sebaliknya jika ilmu itu tidak pernah diamalkan (dibagikan) apalagi kikir untuk mengajarkannya, secara perlahan akan hilang dari diri kita. Hendaklah tidak ditukar dengan emas atau uang, apalagi dijual belikan, kalau tidak ingin hilang hakikatnya.” urainya kemudian.
“Ya, Syekh. Jadi kalau begitu saya bisa memohon kepada Syekh untuk diajari ilmu.” Kebo Benowo semeringah kegirangan. “Ternyata Syekh sangatlah baik, berbeda dengan orang‐orang yang memiliki ilmu tinggi lainnya. Mereka selalu meminta imbalan, kalau tidak berupa tumbal.”
“Apa yang andika inginkan dari ketidaktahuan saya?” tanya Syekh Siti Jenar.
“Syekh selalu merendah. Saya menginginkan ilmu untuk bertarung, dan ilmu untuk mengubah daun menjadi emas.” ujar Kebo Benowo.
“Bukankah andika sudah jago bertarung? Mengapa mesti saya yang mengajari?” Syekh Siti Jenar membetulkan duduknya. “Untuk apa bisa mengubah daun menjadi emas?”
“Dalam urusan bertarung secara fisik saya bisa. Namun saya masih kalah dengan ilmu Syekh waktu bertarung saat itu.” Kebo Benowo menelan ludah. “Juga jika saya bisa mengubah daun menjadi emasmaka saya akan menjadi orang kaya raya seantero negeri Demak Bintoro.”
“Baiklah, pelajarilah itu.” ujar Syekh Siti Jenar.
“Bagaimana cara mempelajarinya?” tanya Kebo Benowo mengerutkan keningnya.
“Dekatkanlah diri andika pada Sang Pencipta, niscaya apa pun yang andika inginkan akan terkabul. Karena Sang Penciptalah yang memiliki segalanya.” terang Syekh Siti Jenar.
“Caranya itu yang susah, Syekh. Harus bagaimana?”
“Banyak cara untuk menuju Allah. Laksanakanlah itu, baru andika akan bisa. Mintalah apa yang andika inginkan.” terang Syekh Siti Jenar.
“Saya tidak mengerti dan paham, Syekh.” Kebo Benowo garuk‐garuk kepala. “Saya ingin langsung bisa tanpa harus melalui tahapan rumit yang Syekh sebutkan. Mustahil Syekh tidak bisa memberikannya.”
“Tidak mustahil bagi Allah. Jika memang Dia menghendaki. Jadi, maka jadilah.” ujar Syekh Siti Jenar. “Saya sudah bisa?” Kebo Benowo bangkit dari duduknya, lalu memetik selembar daun basah dan diusapnya
dengan kedua telapak tangan. “Wahhh…benar‐benar hebat ilmu yang Syekh berikan. Saya sudah bisa mengubah daun menjadi emas. Terimakasih Syekh!” berjingkrak‐jingkrak kegirangan.
“Saya juga, Syekh?” Loro Gempol bangkit dan mencabut golok dari sarungnya, “Lego Benongo, babatlah tubuh saya dengan golok ini. Cepat!” menyodorkan golok pada temannya.
“Baik, bersiaplah!” tanpa ragu‐ragu lagi Lego Benongo membabatkan golok pada Loro Gempol yang berdiri tegak. “Hiaaaaaaattttt….!!!”
“Hebat, benar‐benar hebat.” Loro Gempol ternyenyum bahagia, ketika tubuhnya dibabat oleh Lego Benongo tidak merasakan apa pun bahkan seperti membabat angin. “Sudah, Benongo. Cukup!” lalu duduk bersila dihadapan Syekh Siti Jenar.
“Itu yang kalian inginkan. Sudah saya berikan.” Syekh Siti Jenar menggenggam tasbih dengan tangan kirinya.
“Terimakasih, Syekh. Syekh telah mengajarkan dan mengamalkan ilmu kepada kami semua dengan satu kalimat, hingga keinginan kami tercapai.” Kebo Benowo tampak senang, begitu juga temannya. “Kami tidak akan pernah melupakan jasa baik Syekh, yang telah kami anggap sebagai guru. Untuk itu izinkanlah kami pulang kampung.”
“Kembalilah, karena hanya itu yang kalian ingin raih.” Syekh Siti Jenar masih dalam keadaan bersila, terdengar mulutnya komat‐kamit membacakan dzikir, sambil memutar tasbih. Perlahan‐lahan tubuhnya samar dari pandangan Kebo Benowo dan temannya. Hingga akhirnya tidak terlihat.
“E..eh, menghilang!” Kebo Benowo menggosok‐gosok kedua matanya, begitu juga ke dua temannya. “Aneh, kemana beliau?”
“Ya, hebat.” Loro Gempol memutar matanya menatap ke segala arah, menyisir keberadaan Syekh Siti Jenar, “Benar‐benar lenyap.”
“Tidak jadi soal. Karena apa yang kita inginkan telah kita peroleh. Disamping itu kita pun sudah meminta izin untuk kembali ke kampung. Menghilangnya Syekh Siti Jenar berarti merestui kita semua. Mari kita turun dari padepokan ini!” Kebo Benowo bangkit dari duduknya, diikuti temannya. Mereka pun turun dari padepokan menuju kampungnya.
“Kalian orang‐orang miskin! Sebaiknya tunduk dan takluk pada saya.” Loro Gempol berkacak pinggang di hadapan orang‐orang yang berbondong‐bondong menuju tempa sabung ayam.
“Keparat! Apa maumu?” Joyo Dento pemimpin kelompok sabung ayam “Masa andika tidak mendengar? Bukankah saya menyuruh andika dan kawan‐kawan agar tunduk!?” Loro Gempol dengan sorot mata meremehkan.
“Tunduk? Jangan harap, keparat!” Joyo Dento mencabut keris dari sarungnya. “Memangnya andika seorang senapati? Enak saja.”
“Hahaha…ternyata andika punya keberanian Joyo Dento?” Loro Gempol tidak bergeming melihat ketajaman ujung keris yang terhunus.
“Kawan‐kawan, habisi dia!” perintah Joyo Dento pada temannya.
“Majulah kalian semua! Buktikan kehebatan kalian jika memang sanggup membunuhku…hahaha!” Loro Gempol tertawa renyah.
“Matilah andika keparat!” Joyo dento menyodokan keris ke arah uluhati. Diikuti empat orang temannya, menyodok perut, membabat leher, punggung, kepala, dan kaki.