Syekh Siti Jenar Menyatu Dengan Dzat page 21

“Namun Ki Ageng tidak saya temukan, begitu juga Syekh Siti Jenar? Padahal suaranya seperti berada didepan saya.” Joyo Dento memijit‐mijit dahinya.

“Tataplah dengan mata terbuka, jangan dengan mata tertutup.”

“Tapi saya sudah menatapnnya dengan mata terbuka, Ki Ageng Pengging. Namun saya tidak bisa menemukan keberadaan andika selain suara. Dan ruangan ini kosong, hampa, tidak ada orang?” Joyo Dento semakin kebingungan. Namun matanya merayap dan tertuju pada dua hamparan tikar yang berada dihadapannya.

“Bukankah saya ada dihadapan andika, Dento?” ujar Kebo Kenongo, seiring dengan bergeraknya hamparan terusik angin sepoi tikar. Pelan‐pelan wujud keduanya yang sedang duduk bersila mulai tampak.

“Ki Ageng, terimalah sembah hormat hamba!” Joyo Dento langsung saja menekuk lututnya seraya mengacungkan kedua tangannya menyembah. “Begitu juga pada Syekh Siti Jenar, seorang wali yang memiliki kesaktian tinggi.
Ijinkanlah hamba pada saat ini menghadap!” “Saya ijinkan, Dento.” Kebo Kenongo tersenyum.
“Terimakasih, Ki Ageng.” lalu melirik ke arah Syekh Siti Jenar, wajahnya tampak memancarkan cahaya yang menyilaukan matanya, hingga tidak sanggup menatapnya. Joyo Dento pun menunduk. “Saya mohon maaf Syekh Siti Jenar karena telah lancang datang ke padepokan yang indah dan asri ini. Karena hamba punya maksud dan tujuan….”

“Saya memaklumi, dan tahu akan tujuan dari kehadiran andika ke padepokan ini. Bukankah untuk meminta restu serta bantuan kami berdua atas upaya ambisi menggulingkan kekuasaan Raden Patah.” terang Syekh Siti Jenar.

“Duh, mohon maaf Syekh. Ternyata andika memiliki ilmu sangat tinggi. Pantas saja Kebo Benowo dan kawan‐ kawannya sakti.” Joyo Dento semakin merunduk dan tercengang, atas kehebatan Syekh Siti Jenar yang tahu akan maksud kedatangannya. “Namun tidakah Syekh….”

“Tidak, karena saya mengajarkan ilmu pada siapa saja yang mengingkannya. Kebo Benowo dan kawan‐kawan mantan rampok yang memiliki ambisi untuk menggulingkan kekuasaan Raden Patah serta bermimipi ingin   menjadi penguasa negeri Demak Bintoro adalah sebuah taqdir.” Syekh Siti Jenar seakan‐akan sudah mengetahui setiap rencana, bahkan yang belum terujar masih tersimpan di dalam hati pun bisa diketahuinya. Lebih dari itu dia pun seakan‐akan tahu masa depan yang akan terjadi. “Baik saya atau pun Ki Ageng Pengging tidak akan melarang tindakan andika, merestui pun tidak. Merestui atau pun tidak saya dan Ki Ageng Pengging adalah bagian dari  taqdir andika semua.”

“Lantas?” Joyo Dento bergumam, sudah kehabisan kata‐kata. Sebab semua yang akan diucapkannya sudah mereka ketahui. “Jika saya sudah tahu seperti ini mungkin tidak akan berkunjung ke padepokan ini. Cukup dari kejauhan saya minta restu.”

“Andika tidak perlu menyesal datang ke padepokan ini. Karena ini adalah perjalanan lahiriyah andika selaku manusia.” Syekh Siti Jenar menatap. “Sedangkan keinginan andika untuk membangkitkan kembali kekuatan Majapahit yang telah runtuh itu pun hak andika. Ki Ageng Pengging junjungan andika tidak mau terlibat bahkan memilih sebagai petani dan hidup di pedesaan itu pun bagian dari taqdir. Ki Ageng dan saya berbuat seperti ini karena sudah tahu apa yang akan terjadi dan teralami berikutnya.”

“Saya tidak paham, Syekh.” Joyo Dento Semakin menunduk. “Namun meski pun kurang paham akan semuanya. Saya tidak akan surut untuk terus berjuang bersama yang lainnya demi kembalinya kekuasaan Majapahit. Tetapi bolehkah saya mengetahui apa yang akan terjadi pada saya dan lainnya?”

“Tidak hanya andika yang terbunuh. Saya dan Ki Ageng Pengging pun akan mengalami hukuman mati.” jelas Syekh Siti Jenar dengan wajah tenang.

“Kenapa? Benarkah itu? Tapi tidak mungkin saya menghentikan rencana ini, Syekh?” Joyo Dento garuk‐garuk kepala, dalam benaknya muncul pemikiran antara percaya dan tidak terhadap ujaran Syekh Siti Jenar. “Bukankah Syekh ini orang sakti? Tidak bisakah menghentikan taqdir itu?”

“Sudahlah! Andika tidak perlu bertanya lagi tentang taqdir. Jalani saja ambisi dan rencana semula. Jika ingin berhenti silahkan!”

“Tapi tidak mungkin saya menghentikan rencana ini. Sebab kesempatan dan peluang baik seperti sekarang hanya datang satukali, mengingat dukungan penuh Kebo Benowo juga para pejuang Majapahit yang tidak menyukai bayang‐bayang kekuasaan Raden Patah.”

“Sudah terjawab bukan? Apa yang saya maksudkan tadi?” “Terjawab?” Joyo Dento semakin mengkerutkan dahinya. “Dento,” ujar Kebo Kenongo lirih.
“Ya, Ki Ageng.” tatapan Joyo Dento penuh pertanyaan ke arah Kebo Kenongo. “Saya mohon diri, juga Syekh Siti Jenar. Niat dan rencana saya sudah bulat untuk meruntuhkan kekuasaan Raden Patah demi kembalinya kekuatan Majapahit.” lalu perlahan bangkit dari duduknya.

Joyo Dento sudah meninggalkan padepokan Syekh Siti Jenar, langkahnya pelan mulai menginjak tangga paling atas, lalu ujung kakinya yang tidak lepas dari tatapannya menurun, menginjak yang berikutnya. Hingga akhirnya habis dan kembali ke sebuah pohon yang dijadikan tempat menambat kudanya.

Sejalan dengan itu benaknya terus berpikir, mencerna setiap perkataan Syekh Siti Jenar begitu pula Kebo Kenongo. “Mereka berdua seakan‐akan sudah tidak peduli pada urusan duniawi dan kekuasaan. Padahal mereka memiliki kemampuan dan ilmu yang cukup tinggi. Benar benar tidak habis pikir. Masih hidup malah berpikir dihukum mati. Kenapa bisa bilang akan kena hukuman mati? Bukankah itu ucapan seorang pengecut? Belum bertindak sudah takut pada hukuman mati yang dicap sebagai pemberontak dan mengganggu kesetabilan pemerintahan. Dia juga menyebut bahwa aku akan bertemu dengan kematian artinya kegagalan. Tidak mungkin? Bukankah aku suda memiliki strategi yang cukup hebat. Demak Bintoro sebentar lagi akan kacau dan goncang….”

Joyo Dento telah berada di atas punggung kuda, lalu tangannya memegang tali kekang. Kuda pun dicambuk hingga berlari kencang meninggalkan padepokan Syekh Siti Jenar. Seiring dengan terbukanya sayap malam, yang diawali senja teramat singkat, ditandai warna langit yang memerah laksana darah peperangan. Taubah angkara yang mengundang banjir darah, hingga menciprat di atas lapisan awan putih.

“Para wali yang saya hormati, itulah alasannya kenapa pada hari ini ada persidangan.” ujar Sunan Giri.

Share this: